Senin, 20 Februari 2012

Mengapa Harus Menikah dengan Akhwat (2)

“Mas... kok belum berkemas-kemas... mukhayam itu nggak berat lho. Selain menyehatkan jasad, yang lebih penting, ia bagian dari i'dad, persiapan dan latihan berjihad. Mas kebanggaan kami, si kecil kelak akan mencontoh Mas,” kata seorang akhwat sambil mengelus-elus pundak suaminya.

“Adik bantu mengemasi ya...” belum keluar jawaban dari bibir suaminya, akhwat itu telah mengeluarkan tas ransel dari lemari.

Sang suami yang tadinya ogah-ogahan mulai berdiri. Bangkit mengambil hp.

“Ustadz, saya besuk ikut berangkat mukhayam,” kata ikhwan itu, kini tanpa ragu-ragu.

“Lho, kemarin katanya kesulitan cuti?,” terdengar jawaban dari balik hp

“Kalau masalah kerja insya Allah bisa diatur, Ustadz.”

***

Begitulah inti dialog suami-istri yang sama-sama aktifis dakwah. Saya yakin, dialog yang kurang lebih sama tidak hanya terjadi di hari itu, di keluarga itu. Ada banyak dialog yang berisi penguatan, motivasi, dan peneguhan dari akhwat kepada suaminya. Mungkin dialog yang lain bukan hanya menyemangati sang suami untuk berangkat mukhayam. Dan mungkin saja dialog itu pernah terjadi di keluarga kita. (Senyum dong kalau Antum pernah mengalaminya :-)

Pada tulisan yang pertama, Mengapa Harus Menikah dengan Akhwat (1), ada banyak tanggapan baik yang setuju maupun kurang setuju. Termasuk komentar-komentar di facebook yang jumlahnya lebih banyak lagi. Sebagian tanggapan tidak setuju dengan penggunaan istilah akhwat karena konotasinya yang sempit. Sebagian menafsirkan bahwa akhwat adalah wanita shalihah, dan istilah wanita shalihah lebih tepat digunakan. Sebagian lagi berdalih bahwa tidak semua akhwat itu shalihah. Wal iyadzu billah.

Lalu apa yang saya maksudkan dengan akhwat? Wanita shalihah secara umumkah? Tidak, saya benar-benar bermaksud menggunakan istilah akhwat dalam arti yang sempit. Yakni muslimah yang tertarbiyah Islamiyah sehingga ia tidak saja menjadi wanita shalihah tetapi juga muslihah. Baik secara pribadi sekaligus terlibat dalam dakwah untuk memperbaiki orang lain. Maka akhwat yang saya maksudkan adalah mereka yang tersibghah dengan tarbiyah Islamiyah hingga mencapai muwashafat; tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kepribadian Islam (syakhsiyah Islamiyah) sekaligus kepribadian dai (syakhsiyah Da'iyah).

Tentu saja yang saya maksudkan dengan “harus” itu bukan wajib dalam terminologi Hukum Taklifi bahasan Fiqih. Bukankah menikah dengan akhwat tertarbiyah itu tidak termasuk syarat atau rukun Nikah? Dan yang saya tuju untuk renungan ini adalah para ikhwan. Mengapa harus menikah dengan akhwat? Seri tulisan ini mencoba untuk saling berbagi dan -kalau boleh- merekomendasikan kepada para ikhwan agar memilih akhwat.

Alasannya? Yang pertama sudah kita bahas beberapa waktu yang lalu; kesetiaan. Akhwat yang telah tertarbiyah, ia setia kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagai buah kesetiaan kepada Allah dan Rasul-Nya ia juga sangat setia kepada suaminya. Kesetiaan yang hakiki dan terpancar kuat dalam sikap dan ucapan ini berdampak besar bagi suami. Sang suami bisa lebih tenang, lebih damai, lebih khusyu' dalam beribadah, fokus dalam bekerja, concern dalam meniti karir atau mengembangkan bisnis, dan serius dalam berdakwah.

Kedua, seperti dialog di atas, akhwat menjadi sahabat dakwah. Ia mampu menjadi motivator di saat kita lemah. Ia mampu menguatkan kembali komitmen dakwah kita di saat kita malas. Ia mampu menjadi peneguh saat kita mulai goyah.

“Untuk membangun keluarga muslim yang dilandasi taqwa,” tulis Syaikh Musthafa Masyhur dalam Fiqhud Dakwah, pertama kali seorang Muslim harus mencari pasangan yang baik keislamannya dan yang memahami tugas risalah hidupnya. Menjadikan pasangan hidupnya sebagai sahabat dakwah yang baik, yang selalu dapat mengingatkannya jika ia lupa, memberi motivasi berdakwah dan tidak menghalanginya.”

Istri itu memiliki pengaruh besar dalam kehidupan suami. Ada banyak contoh suami yang sebenarnya biasa-biasa saja, tetapi setelah sekian tahun menikah ia menjadi luar biasa karena motivasi istrinya. Bukan hanya dalam dakwah, tetapi juga dalam ibadah. Ada suami yang beberapa tahun silam tilawahnya terbata-bata, tetapi kini ia yang biasa membetulkan tilawah teman-temannya. Ia serius mengikuti tahsin karena dorongan istrinya.

Ada pula orang yang jarang qiyamullail, tiba-tiba menjadi rajin setelah menikah karena istrinya yang dengan cara “penuh cinta” membangunkannya. Ia mengingatkan kita pada sabda Rasulullah SAW:

Allah merahmati wanita yang bangun di tengah malam, ia shalat dan membangunkan suaminya. Jika suaminya enggan bangun, ia meneteskan air ke wajahnya. (HR. Abu Daud, shahih)

Sebaliknya, tidak sedikit lelaki yang terjungkal karena istrinya. Bahkan tidak terkecuali ikhwan, para aktifis dakwah. Bayangkan jika istri pada cerita di atas mengubah dialognya: “Iya Mas, lebih baik Mas di rumah saja. Ngapain juga capek-capek di hutan, di gunung. Kalau ada apa-apa bagaimana coba. Mana Mas gak punya asuransi lagi. Kalau sampai lebih dari itu? Mas rela saya jadi janda dan si kecil jadi yatim? Mas rela kalau nanti ada orang lain yang nikahi saya?” Bisa dipastikan ikhwan itu semakin “teguh pendirian” untuk tidak berangkat. Dan... banyak alasan yang bisa dipakai.

Sebagaimana mampu memotivasi mad'u dan mutarabbinya, akhwat juga memiliki kekuatan yang sama -bahkan lebih besar- untuk memotivasi suaminya. Karena itulah mengapa kita perlu -bahkan harus- menikah dengan akhwat. Bagaimana pendapat antum? [Muchlisin]

Copas dari :  http://www.bersamadakwah.com/

Ketika Virus Pornografi Meracuni ABG-ku

Ini kisah tentang putra sulungku. Anak yang sedang beranjak dewasa. Anak Baru Gede (ABG) demikian orang biasa menyebutnya. Usianya 14tahun. Sekarang naik kelas IX. Usia yang katanya mencari jati diri. Selalu ingin tahu dan coba-coba. Tentang segala hal, tak terkecuali tentang seks.
Sejujurnya, awalnya  aku orang tua yang tabu membicarakan persoalan seks secara gamblang pada anak. Entah kenapa, perasaan risih selalu mendera bila memulai untuk berbicara masalah ini. Karenanya ketika kelas VI SD, ia kuikutkan menjadi peserta seminar seks pra remaja, yang diadakan oleh Yayasan Buah Hati, pimpinan psikolog ibu Elly Risman. Lembaga yang sangat concern menjadi pemerhati masalah seks bebas di kalangan remaja.
Aku pikir dengan begitu bekalnya sudah cukup. Hingga aku tak perlu mengulang kembali menjelaskan hal yang kuanggap tabu itu. Karena seminar itu pasti akan membuka wawasannya tentang apa dan bagaimana seks pada kehidupan remaja. Menjadikannya mawas diri untuk tidak berbuat hal yang menyimpang. Membukakan pikirannya akan akibatnya buruk seks bebas yang bisa  merugikan dirinya sendiri. Karenanya aku merasa aman-aman saja. Pikirku anakku telah cukup terlindungi.
Sampai pada suatu hari, saat bersantai dikamar, ponsel anakku tergeletak begitu saja di tempat tidurku. Iseng aku membukanya. Bak disambar petir disiang bolong, betapa terkejutnya,  ketika kutemukan jejak konten porno yang belum diclose setelah diakses. Entah ia lupa. Hingga bisa begitu cerobohnya meletakkan ponselnya dikamarku. Awalnya apa yang kulihat tampak samar dan kurang jelas, mengingat sebenarnya itu bukan ponsel canggih berlayar besar. Hanya ponsel sederhana berlayar kecil, namun memang ada fitur untuk browsing internet didalamnya.
Saat itu panik tak terkira. Lemas seketika. Bingung dan gelisah. Bertanya-tanya didalam hati sudah berapa jauh anakku mengenalnya. Akupun kembali mengingat prilaku anakku akhir-akhir ini. Yang kerap senang mengurung diri berlama-lama mengunci kamar bersama ponsel kesayangannya. Begitu sering mengisi pulsa senilai 5 ribu rupiah, hanya untuk browsing katanya. Prestasi dan nilai pelajaran di sekolahnya juga menurun drastis. Pantas saja pikirku.
Dari seminar ibu Elly Risman juga aku tahu bahayanya konten porno yang meracuni anak jauh lebih dahsyat dari bahaya narkoba. Kerusakan otak akibat kecanduan pornografi adalah yang paling berat, lebih berat dari kecanduan kokain, Adiktifnya berkali lipat. Pornografi mengenalkan fantasi seksual sebelum waktunya. Memapar jiwa anak-anak belia yang belum siap menerimanya.
Pornografi menimbulkan perubahan konstan pada neorotransmiter, melemahkan fungsi kontrol, juga menimbulkan gangguan memori. Ini yang membuat mereka yang sudah kecanduan tidak bisa lagi mengontrol perilakunya. Perubahan ini memang tidak instant dalam waktu singkat tapi perlahan melalui beberapa tahap yakni kecanduan yang ditandai dengan tindakan impulsif, ekskalasi kecanduan dan akhirnya penurunan perilaku. Dan yang lebih dahsyat, porngrafi dapat memperburuk kemampuan kesehatan fisik, mental, sosial dan disertai pula penurunan kemampuan intelegensia secara umum.
Sebagai anak sulung, tentu banyak harapan indah kusandarkan padanya. Klise mungkin. Menjadi  anak sholeh, berbakti, dan bisa menjadi panutan bagi kedua adikknya. Ya…sederet doa dan harapan yang lazim dicita-citakan kebanyakan orang tua. Untuk itu sejak dini ku masukkan dia ke SD Islam Terpadu, sebagai upaya agar fondasi keagamaannya terpatri kuat dalam dirinya. Kupikir waktu 6 tahun cukuplah untuk menancapkan nilai moral di sekolah dasar berbasis agama. Selain itu dirumah aku mendatangkan guru les mengaji, baca dan hafal Al Qur’an. Karena, bila belajar denganku ia segan dan tak mau tertib. Berbeda bila diajar seorang guru. Aku juga tak memberinya fasilitas ponsel selama ia di Sekolah Dasar.
Ketika lulus SD, anakku diterima di SMP Negeri. Inginnya memasukkannya ke pesantren. Kupikir bila bersekolah di SMP Neheri, sayang bila hafalan-hafalan Qur’annya akan hilang menguap begitu saja. Karena selama di SDIT dia berhasil menghapal 3 juz Al Qur’an. Alhamdulillah. Dan aku tahu pasti ini tak mudah. Tapi  anakku tak bersedia masuk pesantren. Hingga aku tak bisa memaksanya dan akhirnya mengijinkannya bersekolah di SMP Negeri. Selama di SMP Negeri, demi menjaga tilawah dan hafalan Qur’annya aku tetap memanggilkan guru kerumah, seminggu 3 kali. Demikian upayaku menjaga fitrahnya agar tetap hanif, lurus, dan bersih.
Namun apa lacur, semula kupikir semua yang kuproteksi dirumah, semua upayaku memberi bekal, akan mampu menjaganya dari gempuran pornografi diluar sana. Ternyata aku salah besar. Ia justru terpapar semua itu  dari lingkungan sekolah yang menjadi tempatnya menimba ilmu. Dan semua paparan virus itu mengalahkan suntikan imun berlabel iman yang telah kutanamkan padanya sejak kecil. Ternyata ia tidak steril adanya. Jujur aku shock. Aku merasa sudah menjaganya bak menjaga batu pualam.  Kuasuh dengan sangat hati-hati. Namun toh aku kecolongan juga. Satu lagi tantangan menjadi orang tua. Pengalaman buruk ini mengajarkanku.
Perlu waktu lama untuk merenung atas apa yang terjadi. Betapa naifnya aku selama ini. Saat itu, aku tak langsung mencari dan menginterogasi sulungku. Keterkejutan dan kesedihan yang mendalam begitu menyesakkan dadaku. Hingga aku rehat sejenak. Berdiskusi dengan ayahnya. Berkonsultasi pada guru mengajinya. Bagaimana menyelesaikan semua ini. Akhirnya diputuskan akulah yang harus bicara padanya. Karena memang dia lebih dekat padaku.
Selang kurang lebih 1 minggu, saat ada waktu lengang, aku ajak sulungku berbicara dari hati ke hati. Sebagai teman dan sahabat. Saat itu tak ada lagi kemarahan dihatiku. Aku lebih tenang menghadapinya. Setelah menyampaikan prolog, aku langsung bertanya to the point padanya tentang segala kekhawatiran akan prilakunya. Tentu saja ia kaget dan risih. Awalnya ia mengelak, dan seperti takut untuk ditanya lebih lanjut. Namun aku meyakinkannya kalau aku takkan marah bila ia jujur dan berterus terang. Begini kira-kira sekilas dialogku dengannya.
Ummi  :   Boleh tau ga, bang? Berapa sering Abang liat konten porno itu?
Abang :  Ya…udah beberapa kali, Ummi…
Ummi :  Liat konten apa aja? Video atau foto??
Abang :  Hmm…2-2 nya ummi…(sambil terus menunduk)
Ummi :  O…(sambil berusaha tetap tenang). Darimana Abang tau gambar dan video itu?
Abang : Dari teman, Ummi. Yang gambar dikirim lewat bluetooth, websitenya juga dikasih tau temen…waktu itu awalnya pas rame video Ariel, Ummi…
Ummi :  Hmmm… (nahan nafas). Terus…kalo udah nonton, Abang mau apa?
Abang : Ya…pengen juga kayak gitu, tapi ga tau harus gimana…(makin menunduk menyembunyikan wajahnya)
Aku mau pingsan lagi mendengar pengakuan lugunya. Tapi berusaha untuk tetap tegar dihadapannya..
Sambil menahan tangis…bla bla..bla…kunasehati ia dengan sepenuh sayangku akan bahaya pornografi yang kutahu. Aku bukakan padanya situs yang menceritakan bahaya pornografi bagi seorang anak remaja sepertinya. Kusuruh ia membacanya, kemudian kami berdiskusi membahasnya. Semua kubuka saja. Tanpa tedeng aling-aling lagi. Toh aku pikir ia sudah tahu semua yang terlarang selama ini. Dengan sepenuh hati pula aku memeluknya, dan mengatakan betapa aku sayang padanya, tak ingin ia terperosok dalam keburukan.  Dan minta ia berjanji memutus semua prilakunya demi masa depannya sendiri.
Abang : (kali ini sambil menangis) Maafin Abang ya, Ummi… Abang janji ga akan berbuat lagi. Abang malu sama Ummi. Malu juga sama Allah. Ini HP-nya Ummi sita aja. Abang ga mau pake HP lagi, ga internetan di warnet lagi, kalo ngenet dirumah aja, Ummi liatin aja deh. Abang janji, Abang ga mau kecewain Ummi lagi… Beneran, Ummi… Abang janji…
Tangisnya terus berurai..
Demikian sekilas dialogku dengannya. Sesaat lega karena bisa mengorek kejujuran darinya . Betapapun pahit mendengarnya, itu adalah tamparan sekaligus tantangan bagiku dalam menjalani lakon sebagai orang tua. Apa yang kuberi selama ini padanya, ternyata masih jauh dari cukup. Kejadian ini menggambarkan betapa menjadi orang tua di era ini tidaklah mudah . Orang tua perlu menjadi sahabat bagi anak. Menjadi teman yang menyenangkan untuk diajak bicara.
Sejak itu aku selalu memantau hari-harinya. Pulang sekolah tepat waktu. Akupun memfasilitasinya untuk menekuni hobinya memelihara binatang dan bermain gitar. Aku jadikan ini terapi pemulihan bagi ingatan buruknya.
Seperti saat ini ia sedang hobi memelihara hamster. Hingga hari-harinya sepulang sekolah banyak dihabiskan bermain sambil mengurus binatang peliharaannya. Hamsternya berkembang biak. Dari 2 ekor menjadi puluhan ekor. Ia tak lagi senang berlama-lama mengurung dirinya dikamar. Seperti sebelum kejadian ini. Tak lagi minta uang untuk mengisi pulsa sekedar untuk browsing. Ia juga yang meminta dibelikan ponsel yang tak ada fasilitas multi medianya. HP yang hanya bisa digunakan untuk ber-sms dan telepon. Ia menepati semua janjinya. Tentu saja aku senang dengan semua perubahannya.
Sejak itu pula, sepenuh hati kutemani hari-harinya hingga ia menjadi semakin dekat denganku. Sering ia bermanja tidur dipangkuanku, terkadang minta difacial wajahnya, karena sudah mulai berjerawat.  Kini aku benar-benar sahabat baginya. Akupun leluasa dan tak canggung lagi bertanya mengenai teman-temannya dan siapa wanita yang ditaksirnya. Meski masih malu-malu bercerita, aku tetap bersyukur semua hal buruk itu berlalu. Tak henti aku berdoa, semoga Allah berkenan menghapus semua gambaran buruk itu dari pikirannya. Mengembalikan lagi ia pada fitrah sucinya.
Akhirnya, aku hanya mampu memohon pada Sang Maha Pemilik. Semoga Allah menjaga anakku selalu. Dimanapun ia berada. Tak mungkin aku mengekornya setiap saat. Tak mungkin mengawalnya 24jam. Aku hanyalah orangtua yang dititipkan. Pasti tak berdaya melawan derasnya arus informasi yang mengepung kehidupannya. Hanya mampu memberinya bekal Iman dan Taqwa. Hanya punya sejumput cinta, untuk mengantarnya menuju kehidupan esoknya yang gemilang…
Aulia Gurdi

Sumber: http://www.fimadani.com/

Senin, 13 Februari 2012

Aku Menunggumu [Kisah Nyata]

Afwan (maaf) Ukhti[1], semoga ini tidak melukai Anti  [2] dan keluarga Anti . Ana [3] pikir sudah saatnya Ana memberi keputusan tentang “proses” kita. Ya…, seperti yang Anti  ketahui bahwa selama ini Ana telah berusaha melobi orang tua dengan beragam cara mulai dari memahamkan konsep nikah “versi” kita, memperkenalkan Anti  pada mereka hingga melibatkan orang yang paling ayah percaya untuk membujuk ayah agar mengizinkan Ana untuk menikahi Anti .”
“Namun hingga sekarang nggak ada tanda-tanda mereka akan melunak, jadi menurut Ana…, sebaiknya Ana mundur saja dari “proses” ini!” Dana diam sejenak untuk menunggu respon dari seberang, tapi hingga beberapa detik tidak ada tanggapan. “Perlu Anti  ketahui bahwa orang tua Ana sebenarnya sudah tidak keberatan dengan Anti  hanya saja Timing-mya (waktu) belum tepat. Ayah Ana khawatir Ana tidak mampu menafkahi Anti  jika belum bekerja. Apalagi Anti  juga masih kuliah. Jadi Ana rasa, ahsan (lebih baik) kita nggak komitmen dulu hingga keadaannya membaik! Anti  nggak keberatan kan Ukhti?”
“Keberatan…? Alhamdulillah nggak! Namun kalau Ana boleh kasih saran, apa tidak lebih baik kalau kita terus melobi sambil tetap proses saja. Soalnya kan kita sudah mantap satu sama lain, nggak enak kalau mundur di saat seperti ini. Apalagi permasalahannya sudah mulai mengerucut ke arah ma’isyah (penghasilan) saja.
Anta [4] pasti masih ingat gimana sulitnya awal kita membujuk orang tua, rasanya semua kriteria kita ditolak. Segala keterbatasan kita jadi aib yang sangat besar, pokoknya semua jalan sepertinya sudah tertutup rapat. Namun kenyataannya hanya dalam waktu 2 minggu kita bisa menghilangkan semua syarat menjadi satu syarat saja: PEKERJAAN!”
Dini, gadis tegar itu akhirnya bicara juga. “Akhi  [5]…,kita hanya tinggal selangkah, tetaplah ber-ikhtiar dan jangan putus asa. Bukankah Allah Maha membolak-balikkan hati?”
“Benar, Ana paham soal itu, Ana memang akan tetap melobi orang tua Ana, akan tetapi kalau kita terikat, Ana khawatir menghalangi Anti  proses dengan ikhwan lain yang lebih selevel dibanding Ana. Lagi pula Ana khawatir tidak bisa menjaga hati”.
“Takut menghalagi Ana untuk proses dengan ikhwan lain? Itu kan urusan Allah bukan urusan Anta! Kewajiban Anta sekarang adalah berjuang mempertahankan sesuatu yang Anta sudah mantap dengannya. Hasil istikharah itu nggak mungkin salah. Tinggal bagaimana cara kita mengaplikasikannya saja.”
Hening sejenak….
“Ya….tapi kalau memang Akhi  sudah merasa syak (ragu) terhadap Ana dan mantap untuk mundur, Alhamdulillah. InsyaAllah Ana akan dukung sepenuhnya”.
“Nggak!!” Reflek Dana berteriak.
Astaghfirullahaladzim, Afwan (maaf) maksud Ana, Ana sama dengan keluarga Ana sudah tidak syak pada Anti , kami sangat menyukai Anti  dan keluarga Anti . Selain itu Ana juga takut perasaan ini semakin mendalam, Ana ini hanya hamba yang dhaif (lemah) yang masih kesulitan mengekang hawa nafsu”.
Dana berhenti lagi, dadanya terasa sesak, air matanya mengalir semakin deras. Jauh di dalam hatinya, sesungguhnya ia merasa malu pada Allah atas kelalaiannya, jatuh cinta!
“Halo…!!” Dini merasa Dana diam terlalu lama. Dia tidak tahu kalau pemuda itu sedang menangis. Tapi dia mengerti apa yang sedang terjadi padanya. “Ya udah…, kalau begitu sekarang kita sepakat untuk membatalkan “proses” ini!!! Setelah ini insyaallah kita tidak akan lagi berhubungan kecuali untuk keperluan syar’i yang sangat darurat, iya kan?”
Dini sengaja memberi jeda agar Dana bicara, tapi ikhwan itu memilih terus diam “Akhi …kita tetap baik ya! Hubungan dengan keluarga harus tetap dijaga, jangan suudzdzon pada ayah dan bunda karena bisa jadi keputusan mereka adalah salah satu dari jalan Allah untuk menguji kita”. Dini berhenti lagi tapi Dana masih enggan berkomentar.
“Laa Tahzan, ya Akhi …, insyaallah kalau kita niatkan semuanya demi keridhaan Allah, maka Dia akan mencatat bagi kita pahala yang besar. Afwan jika selama proses ta’aruf ini…Ana, teman-teman, dan keluarga Ana banyak melakukan kekhilafan. Ana mewakili mereka dan diri Ana sendiri untuk memohon maaf pada Anta. Bersabarlah karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar…” Samar, Dini mendengar isak tangis di seberang. Dia nyaris tidak percaya…
“Semoga ini bisa menjadi mahar cinta kita pada Allah dan semoga Akhi  mendapat ganti yang lebih baik…’ Amin.”
Suara isak tangis makin terdengar jelas.
Akhi …kalau sudah nggak ada yang perlu dibicarakan lagi, tafadhal (silahkan) diakhiri!”
Tidak ada tanggapan.
“Halo…!!?. Ya udah, kalau gitu biar Ana yang tutup telponnya, ya…?”
Sepi.
“Assalamualaikum!” “Klik”.
Percakapan diantara mereka berakhir, tapi Dana baru menyadarinya. Dia segera bergegas wudhu dan shalat. Jujur, sebenarnya dia sudah sangat mantap dengan mantan calon istrinya itu…Namun dia tidak yakin dapat membahagiakan akhwat itu kalau dirinya belum bisa menafkahi dengan layak.
Padahal Dini dan keluarganya tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka sangat wellcome padanya. Ah…,mungkin ini sudah takdirnya. Mungkin Allah melihat bahwa akhwat itu terlalu baik utnuk dirinya. Mungkin seharusnya akhwat sekaliber dia, mendapatkan ikhwan yang jauh lebih baik dari dirinya. Dia benar-benar merasa tidak level!!
“Ya…, ikhwan lemah sepertiku, mana mungkin mendapatkan seorang Dini. Populer tapi tetap rendah hati, tegar, bijaksana, wara’, zuhud, qanita, qanaah…Pokoknya semua sifat baik ada padanya. Sedangkan aku, semoga aku nggak akan menyakiti akhwat lain setelah ini.”
Astaghfirullahaladzim…, apa yang telah kusombongkan selama ini? Sudah ikut mulazamah (berguru dengan ustadz) bertahun-tahun tapi masih belum berani mengamalkan ilmu yang kudapat sedikit pun. Katanya percaya bahwa orang yang menikah pasti akan dijamin rezekinya oleh Allah, ternyata aku nggak lebih hanya seorang ikhwan pengecut.
Dana tak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri. Dia benar-benar merasa tak berarti.
“Dulu…., aku pernah begitu khusyu’ berdoa pada Allah agar dipertemukan dengan akhwat shalihah yang nggak banyak permintaan seperti dia. Sekarang ketika sudah dapat, malah kusia-siakan. Kini aku sadar bahwa Allah selalu mengabulkan permohonan hamba-Nya. Manusialah yang selalu kufur terhadap rabb-nya.”
Di tempat yang berbeda, Dini menjalani hari-harinya dengan penuh semangat. Dia tetap ceria seperti biasanya. Ya…, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Kecewa? Jelas ada, karena dini juga hanya manusia biasa. Namun dia bisa mengemas kekecewaannya dengan manis, membuat kesedihannya menjadi sesuatu yang lumrah dari proses kehidupan.
Dia percaya bahwa hatinya tidak mungkin berbohong dan janji Allah pasti terjadi. Maka sesulit apapun kondisi yang dihadapi saat itu, dia mencoba untuk tetap tersenyum. Jujur, aku bangga padanya.
“Aku sudah mantap dengannya, kak. Aku yakin dialah jodohku. Aku akan terus menunggunya…”

Sepekan kemudian, Dana menitipkan biodata ikhwan lain yang merupakan teman dekatnya untuk diberikan pada Dini. Menurutnya, Ikhwan itu bisa membahagiakan Dini karena sudah matang dan punya pekerjaan tetap. Jelas, Aku Tahu bahwa pendapatnya keliru.
Dini bukan mengharap ikhwan yang matang dan mapan. Dia hanya mengikuti kata hatinya saja. Diniku tidak akan bahagia hanya dengan harta dan tahta. Namun, tak urung diterima juga biodata itu. Dan bisa ditebak, bagaimana reaksi Dini saat kuberikan empat lembar kertas berukuran A4 itu. Dini menggelang pasti.
Anti  coba istikharah-kan dulu. Barangkali semuanya bisa berubah…,” bujukku.
Jazakumullah khair, tapi…Afwan tolong jangan paksa Ana, Kak!”
Ikhwan fillah, mungkin sebagian Anda akan menganggap Dana sebagaimana penilaian Dana terhadap dirinya sendiri. Pengecut, jahil, dan sifat-sifat buruk yang lainnya. Tapi bagi saya, Dana tidaklah seburuk itu, justru sebaliknya, Dana dalam pandangan saya adalah ikhwan yang baik.
Dia berani mengambil resiko dengan mundur dari proses dan memilih untuk bersabar melawan nafsunya. Padahal kalau dia mau, dengan sikap Dini yang penurut, dia bisa minta untuk tetap meneruskan hubungan dengan gadis pilihannya itu. Namun dia tahu bahwa di atas segalanya, Allah-lah yang patut utnuk lebih dicintai.
Dana yakin bahwa jodoh adalah kekuasaan Allah dan Dia tetah menetapkannya 50 ribu tahun sebelum semesta ada. Dia tahu kalau jodoh pasti akan ketemu lagi, bagaimanapun caranya. Mungkin Dini tidak akan pernah tahu kalau biodata yang kusodorkan kemarin adalah kiriman Dana.
Mungkin Dana juga tidak akan pernah tahu kalau ternyata Dini akan terus menunggunya. Dan mereka juga tidak boleh tahu bahwa diam-diam aku selalu mendoakan kebaikan untuk mereka. Entah bagaimana ending kisah ini nantinya, yang pasti aku selalu berharap agar masing-masing dari mereka mendapatkan ganti yang lebih baik. Segera…..

Foot Note
[1] Saudariku
[2] Kamu (Perempuan)
[3] Aku
[4] Kamu (Laki-laki)
[5] Saudaraku
Kisah Nyata Majalah Nikah Volume 4/11/2005

Sumber: http://maramissetiawan.wordpress.com/

Jumat, 10 Februari 2012

Aku dan sebuah realita dari wanita yang dihalangi untuk menikah

Oleh : Abu Ibrahim Abdullah

Terlalu banyak realita yang telah ku lihat, berita yang  telah ku dengar, sebuah kesedihan yang mendalam, sebuah kesengsaraan dalam hidup yang justru dilakukan oleh orang-orang yang mencintainnya. Dilatarbelakangi karena  jauhnya dari ilmu syar’i, dibungkus dengan hawa nafsu dan dipoles dengan pola pikir yang keliru akhirnya berujung pada menyengsarakan orang-orang yang dicintainya bahkan buah hatinya sendiri tanpa disadari. Sepenggal cerita dibawah ini, semoga mewakili dari sekian banyak orang yang mengalaminya.

Sebuah kisah tentang seorang anak perempuan yang melaknat ayah kandungnya sendiri, dikarenakan ayahnya melarangnya untuk menikah, memiliki keturunan yang baik – baik dan menjaga kemaluannya dengan menikah. Berbagai alasan dikemukakan sang ayah, mulai dari alasan fisik sang laki-laki yang ingin menikahi, alasan status sosial dan alasan lainnya. Sampai akhirnya anak perempuannya tersebut semakin tua dan tidak menikah.

Menjelang ajalnya, sang ayah meminta anak perempuannya untuk memaafkannya, namun sang  anak mengatakan “Aku tidak mau memaafkan ayah yang telah membuatku menderita dan menyesal. Ayah yang telah menghalangiku dari hakku dalam hidup ini. Untuk apa aku menggantungkan segudang ijazah dan sertifikat di dinding rumah yang tidak akan pernah dilalui seorang bocah pun? Untuk apa ijazah dan gelar menemani tidurku dipembaringan, sementara aku tidak menyusui seorang bayipun dan tidak mendekapnya dipelukkanku. Aku tidak bisa berbagi cerita kepada laki-laki yang aku cintai dan sayangi, yang mencintai dan menyayangiku dan cintanya tidak seperti cinta ayah. Pergilah dan sampai bertemu pada hari kiamat nanti. Dihadapan Dzat Yang Maha Adil dan tidak pernah mendzalimi. Dzat yang memutus segala perkara. Dan Dzat yang tidak merampas hak seorangpun! Aku tidak akan pernah rela kepada ayah hingga tiba masa pertemuaan dihadapan Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.”

Atau Sebuah akhir yang memilukan.
Seorang anak perempuan yang dihalangi ayahnya untuk menikah karena ayahnya menolak ta’addud (poligami), setiap kali datang kepadanya laki-laki yang ingin meminang putrinya, ia menolaknya, sampai putrinya berumur 40 tahun. Kemudian, putrinya ditimpa penyakit kejiwaan akibat sikapnya itu dan penyakitnya kian bertambah parah sehingga dirawat dirumah sakit. Ketika menjelang wafat, ayahnya mengunjunginya. Dia berkata kepada ayahnya, “ Mendekatlah kepadaku, mendekatlah,” ia berkata lagi, “kemarilah lebih mendekat.” Ayahnya mendekat. Kemudian, ia berkata kepada ayahnya, “katakan amin”, ayahnya berkata “amin”, Kemudian untuk kedua kalinya ia berkata, “katakan amin”, ayahnya berkata “amin”, Lalu ia berkata kepada ayahnya, “semoga Allah menghalangimu dari surga sebagaimana kamu telah menghalangiku dari menikah dan mendapatkan anak.” Setalah itu ia wafat
Tak bisa ku bayangkan kesedihan dan penderitaan mereka, yang membuat hati ini pilu jika  mendengar, melihat kisah dan kehidupan mereka.

Tak tahu apa yang harus ku ketik pada kertas ini kecuali sebuah ayat yang semoga meyadarkan kita semua terutama para wali dari para wanita yang berada dibawah kewaliannya.
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالمَعْرُوفِ ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“ Apabila kamu mentalak (mencerai) isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka menikah lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang yang beriman diantara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Qs. Al Baqarah : 232)

Sebuah ayat yang menjelaskan kepada kita semua, tentang tidak bolehnya seorang wali menghalang – halangi untuk menikahkan orang yang berada dibawah kewaliannya, jika mereka telah saling ridho tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat islam. Dari mulai alasan calon suaminya belum mapan, atau alasan agar putrinya menyelesaikan studinya dulu atau meniti karirnya dulu, atau karena alasan adat dan uang atau karena alasan mahar sampai pada alasan tidak mau putrinya dipoligami.

Berkata Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di Rahimahullah : “ Pembicaraan ayat ini kepada para waIi dari perempuan yang dicerai dengan perceraian yang bukan perceraian yang ketiga apabila telah habis masa iddah. Dan mantan suaminya menginginkan untuk menikahinya kembali dan perempuannya ridho dengan hal itu. Maka tidak boleh walinya melarang untuk menikahkannya karena marah atas laki-laki tersebut, atau tidak suka dengan perbuatannya karena perceraian yang pertama” (Taisirul Karimir Rahman, pada ayat ini)

Berkata Ibnu Katsier Rahimahullah:  ( ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ : Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang yang beriman diantara kamu kepada Allah dan hari kemudian ) Maksudnya inilah yang Kami (Allah) larang, yaitu tindakan para wali yang menghalangi pernikahan wanita dengan calon suaminya, jika masing-masing dari keduanya sudah saling meridhai dengan cara yang ma’ruf, hendaknya ditaati, diperhatikan dan diikuti” (Tafsir Ibnu Katsier pada ayat ini)

Ku hanya ingin mengatakan kepada para wali bertakwalah kepada Allah, takutlah kalian kepada Allah atas perbuatan kalian dari menghalangi untuk menikahkan wanita – wanita yang berada dibawah kewalian kalian tanpa alasan yang dibenarkan dalam agama ini. Karena hal itu adalah sebuah tindakan kedzaliman atas mereka.
Apakah kalian rela mempertaruhkan kebahagian putri-putri kalian hanya  karena uang,  studi disekolah – sekolah ikhtilat, karir,  adat atau perkara lainnya sehingga menghalangi putri-putri kalian menikah dengan laki-laki sholeh pilihannya.

Sumber: http://nikahmudayuk.wordpress.com/

Kamis, 09 Februari 2012

Aku Terpaksa Menikahinya [Kisah Inspiratif]

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

Sumber : http://bundaiin.blogdetik.com

Mau Tau Ciri-Ciri Ikhwan Genit ?

4.Ikhwan genit suka chating dengan akhwat, diskusi dengan hal-hal yang ga perlu, katanya segalah dakwah di dunia maya, tetapi yang diobrolkan jauh dari nilai esensi dakwah.
5.Ikhwan genit suka nelpon-nelpon akhwat tanpa agenda yang jelas, lama banget,n mendayu-dayu, padahal sms saja bisa.
6.Ikhwan genit, memanfaatkan amanah dakwah nya untuk kepentingan dirinya, dan menseleksi akhwat, menilai akhwat layak tidak untuk dirinya, sekufu tidak dengan dirinya,dan orientasi pribadi lainnya.
7.Ikhwan genit memanfaatkan kepandaiannya dalam skill tertentu untuk menarik akhwat, misal skill memperbaiki komputer,HP, pemrograman, buat blog (site) dan buat proposal atau kerja teknis lainnya.
8.Ikhwan genit berjalan suka jelalatan, klo ada akhwat yang melintas di depannya selalu memberi penilaian, “ akhwat ini 80, akhwat itu 70 … dsb”
9.Ikhwan genit, sok perhatian ke akhwat, mempunyai belas kasihan yang terlalu berlebihan, padahal biasa-biasa saja sebenarnya bisa.
10.Ikhwan genit, suka bercanda dan cair dengan akhwat, dan ga risih dengan syuro yang berhadap-hadapan.
11.Ikhwan genit suka sekali sms tausiyah padahal sebenarnya dia lagi kangen saja sama akhwat idolanya, menurut saya etika sms tausiyah,” sent to all”, ga ada spesifikasi untuk ikhwan/akhwat tertentu, atau untuk lebih berhati-hati ikhwan sms tausiyahnya ke ikhwan dan akhwat ke akhwat.
12. Ikhwan genit yang kebetulan mendapat amanah di kaderisasi, perhatian n sok campur tangan dengan kaderisasi akhwat, padahal jelas-jelas kaderisasi ikhwan dan akhwat benar-banar sesuatu yang terpisah, dan semuanya sudah ada yang ngurusin.
13.Ikhwan genit suka menjanjikan “ nikah “ kepada seorang akhwat padahal itu masih lama banget menikahnya alias ngetek duluan, n yang terjadi akhirnya adalah back street.. wew parah!!
14.Ikhwan genit suka koleksi foto akhwat, dan suka menge-crop foto akhwat yang jadi idolanya, dan lebih gila lagi, menjadikannya background atau screen servernya di komputernya atau laptopnya.
15.Ikhwan genit suka koleksi teman-teman akhwat dengan FB, YM, dan sok perhatian ngasih komen di FB nya.
16.Ikhwan genit ga suka kajian, tapi seneng beli buku, padahal bukunya juga ga di baca.
17.Ikhwan genit suka jalan-jalan di Sunday morning dan melotot lihat akhwat cantik, n ga bisa Godhul bashor, ayo ikhwan tundukkan pandanganmu, biar kami bisa leluasa kalau harus berjalan di depanmu. “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. (QS.An-Nuur[24]:30-31″)
18. Ikhwan genit dalam obrolan teman sesamanya yang dibicarakan selalu seputar akhwat, minim membahas ilmu dien, dan strategi dakwah.
19.Ikhwan genit sering berkunjung ke tempat akhwat, banyak sekali alasannya, entah mau pinjem buku, mau ngantar sesuatu, atau apalah tanpa ada alasan yang jelas.
20.Ikhwan genit suka tertawa terbahak-bahak ga karuan kalau lagi berkumpul sesamanya, padahal kelihatannya antheng & alim banget pas di depan akhwat & pas syuro’.
Jadi ikhwan jangan genit..!! status tiap menit ganti, yang dibahas tentang isi hati. Buka-bukaan ngincer ci wati, nunjukin diri lg patah hati. Minta di komen agar tidak bunuh diri, weleh-weleh ko nulis status bikin ruhiyah mati.
Jadi ikhwan jangan lebay lah! tujuan dakwah bukan amanah, tapi cari aminah aminah dapat pingin walimah padahal belum punya ma’isyah. akhirnya dakwahnya hilang dihutan antah barantah.. Hayoo ada yg pernah ketemu ikhwan kaya gini gak ??

Sumber: https://rangeradith.wordpress.com/

Kita pun Akan Menyusul Mereka

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda: “Selalu wasiatkan kebaikan kepada para wanita. Karena mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan bagian yang paling bengkok dari jalinan tulang rusuk ialah tulang rusuk bagian atas. Jika kalian paksa diri untuk meluruskannya, ia akan patah. Tetapi jika kalian mendiamkannya, ia akan tetap bengkok. Karena itu, wasiatkanlah kebaikan kepada para wanita.” (HR. Al-Bukhari)

Wanita adalah sebuah maha karya Allah. Dibalik kelembutannya ada kekuatan yang dapat menggerakkan sebuah laju peradaban. Islam dengan segala kemuliaannya telah berhasil meletakkan dengan ideal posisi kaum wanita dalam gempita kehidupan. Dan fakta sejarah pun mengungkapnya dengan elok, bahwa di setiap keberhasilan orang-orang besar selalu ada wanita-wanita kuat di belakangnya. Tapi, tidak semua wanita berkenan menempati posisi-posisi itu. Dengan hadirnya racun-racun demokrasi, omong kosong HAM atau bualan feminisme, wanita telah kehilangan karakter-karakter dasar kemanusiaannya. Fungsi-fungsi wanita telah terdistorsi dari letak fitrahnya.
Namun, di tengah kerusakan pemahaman yang semakin kuat, ada sebagian wanita yang tetap menjunjung tinggi martabat mereka. Memelihara nilai-nilai kefitrahan mereka sebagai seorang hamba. Pengorbanan dan perjuangan telah menjadikan para wanita-wanita ini bak bidadari-bidadari surga yang Allah segerakan kehadirannya. Inilah wanita-wanita yang membuat resah para bidadari-bidadari Surga karena kemuliaannya. Menerbitkan cemburu di ufuk hati para bidadari Surga.
1.   Ibu: Oase Cinta Yang Takkan Kering
“Makan malamlah bersama Ibumu hingga ia senang.
 Hal itu lebih aku senangi daripada haji sunnah yang kamu kerjakan.”
(Al-Hasan bin Amr Rahimahullahu)
Hijrah bukan semata keputusan ideologis-teologis, lebih jauh hijrah adalah sebuah keputusan psikologis, terlebih dalam konteks di saat kita dalam posisi seorang anak. Dan hal inilah yang dirasakan oleh seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash Radhiyallahu ‘Anhu seorang lelaki mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Aku berjanji setia kepadamu wahai Rasulullah untuk berhijrah. Tetapi aku meninggalkan orang tuaku dalam keadaan terus menangis.” Ucap lelaki itu. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Pulanglah kepada keduanya. Buatlah keduanya tertawa, sebagaimana kau telah membuatnya menangis.” (HR. Muslim)
Ibu, adalah representasi bidadari surga yang paling terang. Hatinya adalah oase cinta kehidupan yang menyejukkan, airnya bening dan tak pernah menemui kekeringan. Kasih sayang dan pelukannya adalah hembus angin kedamaian. Jasa-jasanya takkan pernah dapat terbilang, sekalipun dengan formula-formula canggih matematika atau fisika modern.
Imam Bukhari dalam Shahih Al Adabul Mufrad No.9 meriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, bahwa suatu hari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma melihat seorang menggendong Ibunya untuk tawaf di Ka’bah dan ke mana saja sang Ibu menginginkan. Kemudian orang tersebut bertanya, “Wahai Abdullah bin Umar, dengan perbuatanku ini apakah aku sudah membalas jasa ibuku?”, “Belum, setetes pun engkau belum dapat membalas kebaikan kedua orang tuamu” Jawab Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma.
Pada kisah lain yang diceritakan Abul Faraj Rahimahullahu. Sesungguhnya seorang laki-laki datang kepada Umar lalu berkata, “Sesungguhnya aku mempunyai ibu yang sudah tua renta. Dia tidak menunaikan keperluannya kecuali punggungku yang menjadi tanggungannya. Apakah aku sudah membuatnya ridha dan bisa berpaling darinya? Apakah aku sudah menunaikan kewajiban kepadanya?” Umar Radhiyallahu ‘Anhu menjawab, “Belum”. “Bukankah aku telah membawanya dengan punggungku dan aku merelakan hal itu untuknya.” tukas lelaki itu. “Tapi, dia telah melakukannya dan dia berharap agar engkau hidup dan tetap berada di pangkuannya. Sebaliknya, engkau melakukannya dan berharap untuk segera berpisah dengannya,” tegas Umar Radhiyallahu ‘Anhu, sehingga membuat orang itu tak lagi sanggup mengeluarkan kata-kata.
Sebesar apapun pengorbanan yang kita berikan pada Ibu, se-zarah pun tak akan dapat menggantikan pengorbanan yang diberikan ibu kepada kita. Dengan memahami bahwa bakti dan pengorbanan kita tak akan pernah bisa membalas kebaikan ibu, semoga bisa menyadarkan kita untuk selalu memahami dan menyelami keinginannya.
Di dunia ini, tak akan pernah kita temukan cinta kasih seindah cinta kasih seorang Ibu. Tentang hal ini dengan apik Imam Adz Dzahabi rahimahullahu menguraikan, “Ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan yang serasa sembilan tahun. Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya. Dia telah menyusuimu dengan air susunya, dan ia hilangkan rasa kantuknya karena menjagamu. Dia bersihkan kotoranmu dengan tangan kanannya, dia utamakan dirimu atas dirinya serta atas makanannya. Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu. Dia telah memberikanmu semua kebaikan, dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan kesedihan yang panjang. Dia keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu, dan seandainya dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka ia akan meminta supaya kamu hidup dengan suara yang paling keras. Betapa banyak kebaikan ibu, sedangkan engkau balas dengan akhlaq yang tidak baik. Dia selalu mendoakanmu agar mendapat petunjuk, baik di dalam sunyi maupun ditempat terbuka. Tatkala ibumu membutuhkanmu di saat dia sudah tua renta, engkau jadikan dia sebagai barang yang tidak berharga di sisimu. Engkau kenyang dalam keadaan dia lapar. Engkau puas dalam keadaan ia haus. Engkau mendahulukan berbuat baik kepada istri dan anakmu dari pada ibumu. Engkau lupakan semua kebaikan yang pernah dia perbuat. Begitu berat rasanya bagimu memeliharanya, padahal itu urusan yang mudah…”
Ibu, benar-benar bidadari Surga yang Allah turunkan dengan segera. Maka, sampaikanlah kepadanya betapa kita mencintainya, dan berterima kasihlah atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya kepada kita. Semoga Allah mengampuni dosanya, memberkahi usianya, dan mengumpulkan kita kembali dalam surgaNya.
Ibu, Poros Awal Peradaban
“Karir terbaik seorang wanita adalah menjadi ibu rumah tangga” (Mario Teguh)
Anak yang unggul hanya akan lahir dari ibu yang unggul. Maka, sudah semestinya tidak layak lagi ada pandangan bahwa menjadi Ibu rumah tangga adalah sebuah tindakan pengekangan bagi para wanita untuk mengembangkan potensi-potensinya. Adalah para penganut feminisme, menggugat secara serampangan pembagian wilayah tanggung jawab antara kaum pria dan wanita. Para feminis beranggapan wilayah kerja wanita yang lebih cenderung pada ranah private adalah bentuk ketidakadilan terhadap kaum wanita. Lebih jauh mereka beranggapan melalui keikutsertaan wanita pada ranah publik dapat meningkatkan kualitas dan kapasitas kaum wanita. Benarkah demikian?
Saya selalu ingat apa yang dikatakan ibu saya, “Perempuan bagiannya di rumah, sedang laki-laki di luar rumah.” Sepintas terdengar sangat diskriminatif. Tapi, makin lama saya makin paham bahwa inilah yang dimaksud Job Descpription. Layaknya sebuah organisasi, keluarga pun mutlak memiliki job description. Dan hal yang harus kita pahami adalah tidak ada yang menjamin seorang yang memiliki wilayah kerja di sektor publik akan memiliki kemuliaan dan kualitas lebih baik dari seorang ibu yang memiliki wilayah tanggungjawab pada sektor privat. Karena semua kemuliaan mutlak hanya akan dipetik dari ketaqwaan dan ketaatan pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga kita dapat renungkan apa yang difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam QS. An-Nisaa’ ayat 32, “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Ibu, sebagai seorang ‘manajer’ rumah tangga adalah sebuah entitas terpenting dalam konteks pembentukan sebuah generasi. Tanpa seorang ibu yang berkualitas takkan lahir para manusia-manusia berkualitas. Ibulah, madrasah peradaban yang paling awal. Dari para ibulah cetak biru sebuah poros peradaban ditentukan. Kesungguhan para ibu men-tarbiyah keturunannya adalah langkah nyata rekonsiliasi sebuah bangsa. Dan kerja-kerja macam ini, bahkan para bidadari surga pun belum tentu mampu melakukannya. Dengan kesungguhan inilah, bahkan para bidadari pun akan mencemburuinya.
2.   Wanita Shalihah: Pesona Di atas Pesona
Ia mutiara terindah dunia
Bunga terharum sepanjang masa
Ada cahaya di wajahnya, Betapa indah pesonanya
Bidadari bermata jeli pun cemburu padanya
Kelak, ia menjadi bidadari surga, Terindah dari yang ada
(Hanan)
Ya, bidadari surga yang Allah segerakan berikutnya adalah wanita shalihah. Konteks tulisan ini sama sekali bukan tentang fisik. Kita hanya akan membahas hal-hal substansial yang bernama kesalehan. Untuk itu, cukuplah dialog penuh ‘ibrah antara Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang didokumentasikan oleh Imam Ath-Thabrani sebagai pecut penyemangat, pengobar ruh kesalehan.
Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha berkata, “Wahai Rasulullah, Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jelaskanlah kepadaku firman Subhanahu wa Ta’ala tentang bidadari-bidadari yang bermata jelita.” (QS. Ad-Dukhan: 54) Beliau menjawab, “Bidadari yang kulitnya putih, matanya jeli dan lebar, rambutnya berkilau seperti sayap burung nasar.”
Aku berkata lagi, “Jelaskan kepadaku tentang firman Allah, “Laksana mutiara yang tersimpan baik.” (Al-Waqi’ah: 23) Beliau menjawab, “Kebeningannya seperti kebeningan mutiara di kedalaman lautan, tidak pernah tersentuh tangan manusia.”
Aku berkata lagi, “Wahai Rasulullah, jelaskan kepadaku firman Allah, “Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik.” (Ar-Rahman: 70) Beliau menjawab, “Akhlaqnya baik dan wajahnya cantik jelita.”
Aku berkata lagi, “Jelaskan kepadaku firman Allah, “Seakan-akan mereka adalah telur (burung onta) yang tersimpan dengan baik.” (Ash-Shaffat: 49) Beliau menjawab, “Kelembutannya seperti kelembutan kulit yang ada di bagian dalam telur dan terlindung kulit telur bagian luar, atau yang biasa disebut putih telur.”
Aku berkata lagi, “Wahai Rasulullah, jelaskan kepadaku firman Allah, Penuh cinta lagi sebaya umurnya” (Al-Waqi’ah: 37) Beliau menjawab, “Mereka adalah wanita-wanita yang meninggal di dunia pada usia lanjut, dalam keadaan rabun dan beruban. Itulah yang dijadikan Allah tatkala mereka sudah tahu, lalu Dia menjadikan mereka sebagai wanita-wanita gadis, penuh cinta, bergairah, mengasihi dan umurnya sebaya.”�
Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukah bidadari yang bermata jeli” Beliau menjawab, “Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari yang bermata jeli, seperti kelebihan apa yang tampak daripada apa yang tidak tampak.”
Aku bertanya, “Karena apa wanita dunia lebih utama daripada mereka?” Beliau menjawab, “Karena shalat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutera, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuning-kuningan, sanggulnya mutiara dan sisirnya terbuat dari emas. Mereka berkata, “Kami hidup abadi dan tidak mati, kami lemah lembut dan tidak jahat sama sekali, kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali, kami ridha dan tidak pernah bersungut-sungut sama sekali. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami memilikinya.”
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang wanita di antara kami pernah menikah dengan dua, tiga, atau empat laki-laki lalu meninggal dunia. Dia masuk surga dan mereka pun masuk surga pula. Siapakah di antara laki-laki itu yang akan menjadi suaminya di surga? Beliau menjawab, “Wahai Ummu Salamah, wanita itu disuruh memilih, lalu dia pun memilih siapa di antara mereka yang akhlaqnya paling bagus, lalu dia berkata, “Wahai Rabb-ku, sesungguhnya lelaki inilah yang paling baik akhlaqnya tatkala hidup bersamaku di dunia. Maka nikahkanlah aku dengannya”. Wahai Ummu Salamah, akhlaq yang baik itu akan pergi membawa dua kebaikan, dunia dan akhirat.”
Keshalihan dan akhlaq baiklah sumber kemuliaan, semoga kita dapat meraihnya. Amiin.

Sumber: http://dakwatuna.com/

Rabu, 08 Februari 2012

Mengapa Harus Menikah dengan Akhwat? (1)

"Sudah aku bilang berkali-kali, jangan pergi-pergi ketika aku tidak ada di rumah," katanya dengan nada marah membuat orang di sebelahnya ikut mendengar jelas, "aku peringatkan lagi ya!"

Cukup lama orang yang tadinya satu pesawat denganku itu menelepon istrinya. Kepergiannya ke luar pulau ternyata "dimanfaatkan" oleh istrinya untuk pergi jalan-jalan.

Bukan hanya lelaki itu yang kepergiannya dibayang-bayangi kekhawatiran dan ketidaktenangan. Ada sekian banyak -ratusan ribu sampai jutaan- suami yang galau ketika meninggalkan rumah karena istrinya. Entah karena ia tidak terlalu percaya kepada istrinya atau istrinya yang tidak pantas dipercaya, atau karena kedua-duanya sekaligus. Entah karena ia meragukan kesetiaan istrinya atau istrinya memang terbukti tidak setia, atau karena keduanya sekaligus.

Ada banyak kasus yang bahkan lebih parah, terjadi di masyarakat. Kita mungkin sering mendapati kasus-kasus itu diberitakan di media massa. Beberapa bulan yang lalu misalnya, seorang istri memasukkan laki-laki lain ke rumahnya di tengah malam saat suaminya masuk kerja shift tiga. Suaminya yang saat itu pulang mendadak marah karena ada lelaki tanpa baju terbirit-birit keluar dari rumahnya. Kejadian yang terjadi di sebuah daerah di Jawa Timur itu menjadi terkenal karena para tetangga mendemo memprotes wanita itu.

Bulan berikutnya juga ada kejadian mirip di daerah lain. Bedanya, wanita yang berselingkuh ditinggal kerja suaminya ke luar kota.

Betapa runyamnya hidup seperti itu. Ketika istri tidak setia. Ketika istri tidak menenangkan. Kalaupun tidak sampai pada level selingkuh separah dua kasus terakhir di atas, istri yang tidak setia 100% akan cukup menguras emosi suami. Ketidaktenangan saat berada di luar rumah, terlebih saat bekerja, tentu sangat mengganggu kesuksesan suami. Ibadah terpengaruhi tidak tenang, shalat tidak khusyu', dan seterusnya.

Akhwat, adalah wanita istimewa. Insya Allah tidak berlebihan jika saya menyebutkan demikian. Celupan tarbiyah Islamiyah membentuknya menjadi pribadi muslimah yang menjadikan iman sebagai orientasinya. Jadilah kesetiaan kepada Allah dan rasul-Nya sebagai prinsip hidupnya. Dengan demikian, kesetiaan kepada suami, kesetiaan pada ikatan pernikahan adalah harga mati yang terus dijaga sebagai wujud kesetiaan kepada Allah dan rasul-Nya. Suami di rumah maupun pergi, bersamanya maupun keluar kota, travelling atau bekerja, istri tetap setia; menjaga kepercayaan suaminya, menjaga kehormatan diri, rumah dan keluarganya.

Menikah dengan akhwat, dengan demikian merupakan langkah membangun keluarga yang tenang; sakinah. Suami tenang ketika di rumah, tenang pula ketika keluar rumah. Suami 100% percaya kepada istri, istri 100% menjaga kepercayaan itu. Suami tidak terganggu dengan prasangka terhadap istri, sehingga emosinya stabil dan terjaga. Ia pun bisa lebih khusyu' dalam beribadah, fokus dalam bekerja, concern dalam meniti karir dan serius dalam berdakwah.

"Maukah kutunjukkan kepadamu sebaik-baik milik lelaki?," sabda Rasulullah suatu ketika kepada Umar bin Khatab, "yaitu istri salihah yang jika dipandang suaminya ia menyenangkan, jika diperintah ia mentaati, dan jika ditinggal pergi ia menjaga diri."

Karakter wanita shalihah dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di atas insya Allah ada dalam diri akhwat. Karena itulah mengapa kita perlu -bahkan harus- menikah dengan akhwat. Bagaimana pendapat antum? [Muchlisin]

Copas dari: http://www.bersamadakwah.com/

Kekasihku Pergi Saat Berjihad

[kisah pegawai Pajak]

POSTED ON DECEMBER 8, 2011 BY NISE SYARBAINI
285

SAYA TEMUKAN SOSOK IDEAL PEGAWAI PAJAK pada mendiang suami saya. Hanya Allah pemilik kesempurnaan, dan Allah menciptakan sosok yang hampir sempurna bagi saya dan anak-anak. Ismail Najib nama lengkapnya. Ia terlahir dari keluarga yang sederhana di pelosok Jambi. “Ayah,” kami biasa memanggilnya. Ibunya, mertua saya, memanggilnya Mael. Teman kantornya memanggilnya Najib –atau Pak Najib.
Abang pergi mendahului kami. Ia menitipkan tiga buah-hati kami. Dafi Muhammad Faruq, putra, umur enam tahun, kini kelas satu SD. Adiknya, dua putri cantik kami, Kayyisah Zhillan Zhaliila, usia tiga tahun dan Mazaya Hasina Najib, tiga bulan. Ketika Abang mangkat pada 21 Februari 2011, si bungsu masih dalam kandungan empat bulan. Meski telah pergi, Abang mendidik saya menjadi orang kuat dan mandiri. Dengan kondisi long distance, saya memilih homebase di Kota Kembang demi pendidikan anak anak. Dengan bekal ilmu agama yang Almarhum berikan, sekarang saya menjadi tahu apa itu arti syukur, ikhlas, dan tawakal. Itulah yang membuat saya harus bangkit menyikapi keadaan ini.
Pegawai Pajak, pekerjaan yang luar biasa “banyak godaannya”. Abang memberikan pengertian pada saya bahwa materi yang identik melekat dengan pegawai Pajak, jangan menjadi patokan kebahagiaan dan kesenangan. Karena, tidak semua orang Pajak bermateri (saat itu saya tidak mengerti apa maksudnya).
Hingga sekitar 2005, Abang mengutarakan puncak kegundahannya. Setelah bekerja selama satu dekade , kebimbangan itu pun terucap, “Bunda, Ayah takut apa Ayah sudah menafkahi keluarga ini dengan halal?” ia bertanya kepada saya. Banyak pandangan negatif terhadap pegawai Pajak saat itu –bahkan hingga kini. Saya bekerja di satu bank BUMN. Banyak nasabah dan teman seprofesi yang “curhat” tentang tindak-tanduk pegawai Pajak dan betapa ribetnya mengurus pajak –waktu itu, sebelum modern.
Kami melihat kenyataan bahwa saat itu ada pegawai pelaksana yang punya rumah dan mobil mewah. Abang seorang kepala seksi, dan kondisi itu yang membuat Abang sering memberi pengertian pada saya. Sebagai seorang istri pegawai Pajak, saya harus hidup sederhana dengan gaji sebagai PNS. “Jangan pernah terpengaruh dan mempengaruhi suami untuk mendapatkan sesuatu yang tidak halal,” Abang memberi nasihat.
“Apa gaji yang ayah terima ini halal?” kembali ia gusar. “Nafkahilah keluarga ini dengan keringatmu. Bun percaya Ayah akan memberikan yang terbaik untuk kami,” jawab saya.
“Kira kira bagaimana jika Ayah keluar saja? Jadi guru ngaji,” tuturnya membulatkan tekad. Matanya berlinang. Saya pun ikut menangis saat itu.
“Ayah, apa gak mau lingkungan Ayah jadi lebih baik? Kalau Ayah mundur sekarang, gak ada perubahan di Pajak. Ayah harus mengubah kebiasaan itu. Pajak memerlukan orang seperti Ayah untuk bisa berubah. Ayah pasti bisa,” tutur saya menyambung percakapan waktu itu.
“Iya yah, Bun,” jawabnya. Kegelisahan itu akhirnya terjawab dengan modernisasi dan reformasi birokrasi DJP. Pada 2006, sampailah juga gelombang kantor modern di Jawa Tengah –waktu itu Abang dinas di Pekalongan.
Abang orang yang sangat sabar, tenang, tak banyak bicara. Malah terkadang tanpa ekspresi. Namun dalam diamnya, saya tahu ia tak diam. Selama kami bersama, belum pernah ia marah sekalipun. Ia laki-laki yang hangat dan update –selalu tahu semua hal. Diajak segala macam diskusi, pasti langsung nyambung apapun topiknya, apalagi soal agama. Keseimbangan itu yang kami teladani di rumah. Ia orang yang ngocol, kadang jail dan sangat romantis. Dengan gitar kesayangan, ia sering bernyanyi bersama anak-anak dengan kekonyolannya, melucu sampai tertawa terbahak-bahak. Itu semua momen yang kami rindukan.
Salah satu lagu pengantar tidur anak-anak yang sering dinyanyikan, “Demi masa, sesungguhnya manusia kerugian,melainkan yang beriman dan yang beramal sholeh, ingat lima perkara sebelum lima perkara, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, kaya sebelum miskin, lapang sebelum sempit, hidup sebelum mati…”
Loyalitas dan dedikasinya yang tinggi tak diragukan. Saya acungi jempol. Saya ingat, saat itu saya sedang hamil enam bulan anak pertama. Tatkala terkena pengristalan batu ginjal, ia masih bekerja larut hingga hampir pingsan di sebuah klinik di Pekalongan. Opname yang dianjurkan dokter tak dihiraukannya. Saat itu hari-hari akhir penerimaan SPT wajib pajak. Operasi “tembak” adalah solusi yang kami pilih karena bisa lebih cepat pulih dan tidak usah dilakukan pembedahan. Saran dokter, opname selama dua minggu. Namun, bedrest hanya bertahan tiga hari. Kala itu belum ada mesin absen fingerprint. Masih serba manual dengan tanda tangan. “Titip absen saja, kenapa?” saya saking kesalnya memberi saran. “Lagi sakit kok mikirin kerjaan, gimana bisa orang sakit kerjanya maksimal?”
Abang hanya tersenyum mendengar kekesalan saya. Alhasil, dengan keadaan yang masih lemas, ia tetap kerja. “Sakit itu ujian dari Allah. Harus kita nikmati,dan jangan mengeluh,” jawabnya simpel.
Tiga tahun tugas di Pekalongan dilalui dengan baik. Lalu, Abang mutasi ke Palembang. Satu sisi lebih jauh dengan kami. Tapi di sisi lain, lebih dekat dengan kampung halamannya. Alhamdulillah, Agustus 2010, kami didekatkan. Abang mutasi di Kantor Pelayanan Pajak BUMN, kantor pajak dengan penerimaan terbesar, yang perlu effort lebih tentunya. Saya hanya bisa berdoa agar setiap langkah yang Abang ambil adalah yang terbaik. Saya dan Ibunda tercinta –mertua saya–
mengkhawatirkannya. Semoga ia selalu sehat dan jauh dari “godaan”. Setiap minggu Ibunda selalu mengingatkan, “Mael, hati-hati dalam setiap memutuskan sesuatu. Jadilah orang yang jujur dan jangan sampai tergoda dengan duniawi ya.”
“Kenapa suamimu gak minta pindah di Bandung saja? Kan bisa lewat Si Anu. Yah, minimal setor satu Kijang lah,” salah satu teman saya yang suaminya juga di Pajak mengipas-kipasi. Saya tak tahu maksud ucapannya, apakah ia bercanda atau serius.
Dan seperti biasanya, ia hanya tersenyum saat saya ceritakan hal itu. “Sudah, gak usah dipikir. Allah punya rencana yang lebih indah untuk kita. Yah kita berdoa saja. Sekarang Pajak sudah modern udah gak perlu kayak gitu lagi kok. Yang penting kerja kita bagus. Apapun yang kita lakukan karena Allah. Malah jadi ibadah kan?”
Ketika kasus Gayus terekspos, tentu ini mengecewakan banyak pihak yang telah bekerja keras. Di satu sisi justru suami saya senang. “Pada akhirnya, biarlah yang benar yang akan menang,” tuturnya. Di sisi lain, kita harus membuktikan bahwa tidak semua orang Pajak seperti Gayus. “Orang Pajak sekarang beda dengan yang dulu. Sudah modern, sudah tidak ada lagi ‘kebiasaan’ Itu,” tuturnya yakin. Secara tidak langsung saya pun ikut menjadi “jubir” bagi teman-teman di lingkungan saya.
Kebiasaan Abang yang lain adalah ingin perfeksionis. Ia ingin segala hal sempurna, rapi, dan sangat teliti. Tak mau meninggalkan cela pada pekerjaannya. Contoh kecil saja, saya kalah bila harus menyetrika bajunya. Tanpa menyakiti hati saya, ia bilang lebih puas dengan hasil setrika sendiri.
Februari 2011, Abang mengemban amanat, jadi satu anggota tim yang menyusun sebuah buku coaching di Kantor Pusat. Ia siap mengutarakan sejumlah gagasan untuk penyempurnaan program itu. Sayang, dalam perjalanan menuju medan tugas itu, Abang menyongsong takdirnya. Satu titik dalam sebuah periode yang mengubah total kehidupan saya dan anak-anak.
* * *
DUA KALI KAMI tertunda berangkat haji. Pada akhir 2008, kami sudah siap. Namun, Abang mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang tugas dari Palembang menuju Jambi. Tabungan kami untuk Ongkos Naik Haji pun akhirnya terpakai untuk biaya mengganti mobil dinas Livina yang ringsek. Abang tak mau memanfaatkan fasilitas asuransi kendaraan kantor. Dia memilih bertanggung jawab sendiri. Uang bisa dicari, mungkin Allah belum berkehendak. Yang penting Abang selamat. Tahun 2009 pun kami lewatkan. Maklum, masih belum cukup biaya untuk melunasi. Hingga akhirnya, 2010, saya mantap naik haji. Berapapun biayanya. Apapun kendalanya. Saya berdoa, “Mudahkan ya Allah, kami ingin beribadah.”Alhamdulillah, ada jalan walaupun kami harus memanfaatkan pinjaman kantor saya. Itupun Abang masih ragu, “Bunda, apakah ini hak kita?” tanya Abang. Padahal, dengan gajinya sekarang, mungkin Abang bisa saja langsung melunasi ONH. Namun tidak demikian. Abang masih bersikeras dengan alasannya. Alhamdulillah akhirnya saya dapat memantapkan hati Abang. Dengan izin-Nya, kami bisa melunasi ONH dari hasil tabungan gaji pokok PNS, bonus, dan sedikit tambahan pinjaman. November, tiga bulan sebelum kehilangannya, berangkatlah kami berdua.
Sepertinya Allah sudah menyusun rencana dengan sangat indah. Empat puluh hari saya bersamanya di tanah suci adalah waktu yang sangat indah dan tak dapat saya lupakan. Selama kami berumah tangga dari awal menikah, kami belum bisa kumpul bersama. Saat itulah saya merasakan indahnya kebersamaan yang tak ingin terpisahkan. Sempurna rasanya sebagai istri yang bisa melayani dan mengurus suami. Begitupun Abang. Ia menunjukka keceriaan yang tak pernah saya lihat sebelumnya. Abang adalah tipe orang yang sangat perhatian dan romantis. Satu kali kami hendak salat dan saya berdiri di samping belakangnya. “Bunda salatlah di saf (barisan) perempuan.” “Tapi, Ayah… Bunda sendirian.” kebetulan saat itu suasana padat sekali di Masjidil Haram. Saya sempat mengelak.
“Berjihadlah, ayah bertanggung jawab mendidik Bunda dan anak-anak.” Sedih rasanya mendengar jawaban itu. “Bunda harus terbiasa sendiri,” sambung Abang.
“Kenapa, Yah?”
“Karena kita lahir sendiri. Mati pun sendiri.”
“Jangan bilang gitu yah. Anak-anak masih kecil.”
“Ada Allah yang menjaga anak-anak,” Senyumnya membuat hati saya merasa tenang dan yakin. Ternyata ini pesantren yang Allah berikan lewat ilmu agama yang baik dari Abang. Saya dapat pengetahuan banyak.Terima kasih ya Rabb, Kau telah memberikan kesempatan untuk kami dapat beribadah bersama. Sungguh, momen itu tak mungkin bisa terlupakan. Banyak nikmat yang kami terima sampai kami tiba ke tanah air dengan selamat. Hadiah terindah dari Tanah Suci, saya positif hamil.
Beberapa peristiwa merupakan pertanda yang tak saya sadari. Tanggal 9 Februari 2011, dua pekan sebelum hari celaka itu, kami nonton teve bareng. Ada berita tentang selebritis yang jadi politisi kehilangan suaminya –yang juga artis cum anggota Dewan. Sang istri menangis mengelus-elus nisan suami. “Kalau Bunda seperti itu gimana, ya Yah? Anak-anak masih kecil…” spontan saya nyeletuk dengan maksud bercanda.
Entah kenapa rasa humor yang seperti biasanya, hilang tergantikan dengan tausyiah. “Itu yang tidak boleh,” tuturnya tenang, “menangis, meratapi di pusara tidak baik. Yang diperlukan orang yang telah meninggal adalah doa dari yang masih hidup, bukan bunga yang wangi atau nisan yang indah. Saat Nabi Muhammad ditinggal istri tercinta Khadijah pun beliau merasakan kehilangan dan hanya berkabung tiga hari. Boleh menangis, asal jangan meratap.”
“Hidup di dunia hanya sementara, justru hidup setelahnya yang akan kekal. Perbanyaklah bekal untuk di akhirat. Tiada daya upaya manusia untuk mencegah bila Allah telah berkehendak untuk mengambil nyawa manusia. Jangan takut, Allah lebih dekat dari urat nadi kita. Banyak baca buku tentang agama, yah Bun. Biar tambah banyak ilmunya.”
Dengan senyuman khas yang menenangkan, Abang tak pernah seperti sedang mengajari bila ia sedang berbagi ilmu. Abang berujar, “Tolong jaga anak-anak. Didik agamanya dengan baik. Istikamahlah karena bila agamanya kuat dan takut kepada Allah, dia bisa menghadapi dunia dengan ilmu. Bukan dengan harta dan ingat Allah selalu tahu apa yang kita perbuat.”
* * *
SEMENJAK PULANG ZIARAH, Abang memperlakukan saya begitu istimewa. Mungkin karena saya sedang hamil. Saya begitu dimanjanya. Hingga Minggu malam itu (20/2)… Kehamilan dua anak sebelumnya, Abang tak pernah menuruti keinginan saya, sekalipun merajuk jika meminta sesuatu. Tapi malam itu… “Kita makan di luar yuk. Bunda pasti pengen apa deh. Kan lagi hamil muda. Ayo lagi kepengen apa?” ujarnya setengah memaksa untuk pergi. Akhirnya kami pergi makan di sebuah resto ikan bakar favoritnya. Karena lama tugas di Makassar, kuliner ikan wajib sebulan sekali buat kami. Abang memesan menu lebih banyak dari biasanya. Alasannya, bisa dibungkus untuk sahur. Alhamdulillah, Senin-Kamis tak pernah terlewatkan untuk puasa sunah. Apa ini yang disebut pertanda? Hendak berangkat ke resto, kami mendapati ban mobil kempes. “Bersyukur, Bunda. Kita keluar rumah nih. Ban kempes, kalo ketahuannya besok pagi, bisa-bisa Ayah kesiangan rapat di Kantor Pusat. Ayah yang menyiapkan ide, masak terlambat? Gak enak dong.”Lagi lagi dengan senyumanya.
Tengah malam, Kayyisah panas dan muntah. Rewel sekali. “Dede (panggilan Kayyisah) pengen tidur sama Ayah aja…. Pengen dipeluk Ayah… aku sayang Ayah. Ayah gak boleh kerja,” rengeknya. Abang pun membuka baju, dan memeluk Dede. Dan Alhamdulillah panasnya reda. Dede pun terlelap.
Pukul setengah tiga dini hari, kami bangun salat tahajud. Biasanya, kami selalu berjamaah. Setelah berdoa, kami berpelukan, saling meminta maaf. Ritual itu tak pernah absen kami lakukan sehabis salat. Tapi kali ini Abang minta salat sendirian. “Kita pisah yah. Ayah mau memperbanyak salat tahajudnya.”
“Kenapa?” pertanyaan itu mestinya saya ungkapkan. Tapi tertahan di hati saja.
Ikan bakar yang seharusnya jadi menu sahur tak Abang sentuh. Malah, Abang meminta buah. “Bun, tahu gak buah-buahan itu makanan di surga. Jadi Ayah cukup sahur dengan apel aja.” Saya tak bertanya, dua minggu terakhir ini Abang bertausyiah tentang kematian terus. Keanehan yang lain, Abang menitipkan Dede sama Mbak (pengasuh anak kami) berulang-ulang.
“Tak seperti biasanya, Bapak nyuruh jagain Dede berulang gitu. Kok kaya mau kemana aja,” ujar Mbak kepada saya. Jam 03.30 pagi. Saya dan Dafi mengantarnya hingga ke pool travel Xtrans di Metro Trade Center. Keanehan yang lain terjadi lagi. Abang tak mau memandang saya. Seperti orang yang sangat sedih mau pergi. “Ayah mau salat di mobil saja. Bun, hati-hati ya. Titip anak-anak,” itu kalimat terakhirnya. Biasanya Abang minta berhenti di rest area guna salat subuh.
Tepat pukul 04.30. Ring tone hape yang sengaja saya bedakan berbunyi. Abang menelepon saya. Sayang, tak sempat saya angkat karena rasa kantuk. Kami begadang karena Dede rewel semalaman. Seandainya saja saya bisa angkat telepon itu, mungkin saya bisa mendengar suaranya yang terakhir kali…
Pukul 04:35. Menurut catatan kronologis Jasa Marga, peristiwa di Tol Cipularang Jalur B Km 100 itu terjadi. Tabrakan karambol yang melibatkan satu truk, minibus travel, dan sebuah mobil, menewaskan tiga orang. Semuanya penumpang travel. Abang meninggalkan kami dalam keadaan puasa. Dan mungkin tengah mendirikan salat subuh. Dalam perjalanan memenuhi tugas.
Di mata saya, Abang wafat dalam jihad. Wallahualam –Tuhan yang punya ketentuan.
Allah punya kehendak lain. Allah lebih mencintai Abang daripada kami. Dia lebih berhak atas Abang daripada kami. Ajal, jodoh, dan rejeki hanya Allah yang tahu kapan dan di mana. Takkan pernah ada yang bisa menghalangi atau pun tertukar. Bila Allah telah berkehendak, tak ada yang mampu menahannya. Allah memberi kesempatan untuk saya agar lebih dekat dan banyak beribadah lagi. Insyaallah ini menjadi ladang ibadah.
Menyangkut kejadian ini, jangan ditanya rasa sedih. Yang saya rasakan hingga saat ini, air mata sepertinya tak bisa kompromi, seakan mendesak keluar, jika mengingatnya. Namun, saya ingat pesan almarhum. Saya tak boleh larut dipermainkan pikiran “seandainya-seandainya”. Itu semua sudah kehendak-Nya. Tak kurang dan tak lebih. Sudah begitu adanya. Hanya doa saya dan anakanak yang bisa kami berikan untuk kekasih kami… Ismail Najib.
Belakangan saya mengetahui bahwa di perjalanan, Abang sempat berkirim posting pada sebuah
grup teman kerja di Blackberry. Itu posting terakhirnya.
* * Feb 21 Mon 04:04 * *
Najib:
Dengar suara adzan selalu tdk dihiraukan atau nanti sajalah
Tp dengar suara HP woow .!! :p
Lgsung segera diambil,
Astgfirullahal’adzm. . : (
Baca Al-qur’an
Seperti orang mengeja
Tapi kalo baca bbm Buseett lancarnya,.:$
Astagfirullahal’adzm. .
Beli pulsa siapa takut !
tp kalo sedekah katanya kantong lg sekarat
Astagfirullahal’adzm. .
Pegang tasbih 1x dlm sethun
tp pegang HP dibawa selalu, walau tidur sekalipun.
Astagfirullahal’adzm. .
sama2 Insyaf yuuukk.!!! :p
Ada baiknya bbm ini disebarkan, mumpung grtisan, dan qm
pun mendapat pahala karna
saling mengingtkan sesama
* * *
SABTU (19/2), DUA HARI SEBELUM KEJADIAN, kami kontrol kandungan. Usia kandungan menginjak bulan keempat. Keinginan Abang untuk dikaruniai anak kembar putri membuat dokter Sofi geli dibuatnya. Tak seperti biasanya, dia ngebet ingin tahu apa jenis kelaminnya. “Perempuan atau laki-laki, Dok? Satu apa kembar Dok?”
“Bapak mau ke mana sih? Kayak mau pergi jauh aja. Banyak banget nanyanya. Masih empat bulan nih…”kata Dokter bercanda. “Pengen tahu, apakah doa saya makbul atau gak.” Setelah cek, diketahui calon anak kami rupanya perempuan. Tapi, “bukan kembar,” tutur Dokter. “Gak apa-apa. Tahun depan bikin lagi yah Bun,” jawabnya sambil melirik saya.
“Enak aja,” sahut saya bercanda. Rasa gembiranya tak bisa ditutupi. “Ayah makin semangat kerja nih,” ujarnya, masih dengan senyuman mautnya.
Sebulan kemudian, saya kembali kontrol. Kali ini… sendirian. Juga untuk lima bulan ke depan hingga melahirkan. Dan bertekad membesarkan anak anak saya sendiri. Ini masa yang sulit untuk saya bisa melaluinya. Kesedihan selalu saya tutupi. Dalam keadaan hamil besar sendiri tanpa suami. Betapa sesak rasanya, ujian ini begitu berat pikir saya. Terpuruknya saya seperti hilang separuh nyawa. Tapi rasa sayang pada Almarhum membuat saya bertekad harus bisa dan kuat!
Satu lagi yang membuat saya bangga, Abang tak pernah absen salat berjamaah di masjid. Sampaisampai di kompleks masjid kami, Al-Hasan, Abang disebut “Pak Ustad”. Para jamaah sudah tahu
kebiasaan Abang : paling lama berdoa setelah salat.
* * *
BAGAIMANA CARANYA? Apa saya sanggup membesarkan tiga orang anak ini? Menjaga dan mendidik mereka seperti wasiat Almarhum? Dan ternyata, perkataan Abang benar, “Allah yang menjaga.” Ini yang membuat kami bangkit menjalani kehidupan selanjutnya. Saya bersyukur, Abang mengajarkan “ilmu ikhlas”. Masih banyak ilmu yang diberikannya yang baru saya mengerti sekarang sepeninggal Almarhum . Ternyata keikhlasan berbalas pertolongan dari arah yang tak disangka.
Saya sempat down sewaktu mengurus segala sesuatu terkait hak suami saya. Sangat ribet. Banyak dokumen yang perlu dilengkapi. Proses di Kelurahan dan instansi lain cukup berbelit. Saya dihadapkan pada birokrasi yang sangat panjang tanpa kejelasan prosedur. Namun rupanya banyak uluran tangan yang membantu. Allah memberikan jalan kemudahan bila kita berpasrah dan ikhtiar. Saya bersyukur karena masih bisa bekerja. Kini, sayalah yang harus mencari nafkah demi anak-anak. Saya tak bisa membayangkan, bagaimana dengan keadaan istri yang sama dengan saya dan tidak bekerja?
Saya sangat berterima kasih kepada teman-teman seangkatan Abang (Mas Pank dan Mbak Tri).
Teman sepaguyuban telah banyak membantu dan memberikan support (baca boks “Pak Najib di Mata Mereka” –peny). “Apakah saya berhak menerima ini? Jika memang berhak, Alhamdulillah,” saya bertanya kepada Mas Iwan, perwakilan teman seangkatan Abang, yang menyerahkan santunan. Biaya sekolah Dafi juga terbantu berkat mereka. Terus terang, saya kaget dan bersyukur, sepertinya saya tak sendiri. Ada keluarga baru yang menemani kami.
Saya juga berterima kasih kepada teman-teman sekantor Abang. Mbak Rini (Ibu Dwi Setyorini, Kasubag Umum –peny) dan tim Waskon mengurus pencairan hak-hak almarhum. Sejak Februari, baru Oktober ini selesai. Pak Joga (Bapak Joga Saksono, Kasi Pengawasan dan Konsultasi –peny), serta Pak Yond Rizal (Kepala Kantor –peny). Kepala Kantor yang telah mengusulkan Abang memperoleh predikat anumerta. Status anumerta menegaskan bahwa Abang mangkat sewaktu menjalankan tugas.
* * *
TAK ADA YANG BANYAK BERUBAH dari rumah ini. Kecuali tinggi lantai yang terpaksa saya naikkan 50 cm. Maklum, dua tahun terakhir, tiap hujan turun, kompleks kami dilanda banjir. Air masuk hingga semata kaki. Rencana menambah tinggi lantai sempat saya utarakan. Itu pun saya lakukan karena masa kelahiran si bungsu kian dekat. Kasihan si kecil. Namun pesan mendiang tetap terngiang, “Bagaimana dengan perasaan para tetangga? Kalau rumah kita tinggi sendiri,
bagaimana dengan mereka? Kita jangan egois, Bunda.” Bahkan, untuk mengganti cat dinding yang baru, Abang harus tengok kiri-kanan dulu.
Pernah ada teman nyeletuk, “Gue aja udah punya rumah tiga. Suami lu kan Kasi.rumah dipinggiran ” Mendengar hal itu, nasihat beliau sederhana, “Gak usah ngiri. Kita harus bangga dengan apa yang kita punya.syukuri yang ada, Jangan harap suamimu akan mengambil sesuatu yang lebih dari haknya.” Yah, rumah ini sejak kami beli dan tempati pada akhir 2005, masih harus kami cicil hingga 10 tahun ke depan.
Tak ada yang banyak berubah dari rumah ini. Pigura mungil foto perkawinan kami masih terpajang. Kami memakai sepasang baju dan kebaya biru nyala segar. Dua buah foto kami berdua, saling berpelukan dan tersenyum juga masih ada. Foto keluarga, waktu itu masih dua anak, kami kompak memakai putih-putih, bertengger manis. Ada juga foto Dafi, alangkah gagahnya ia, saat wisuda TK Al-Biruni angkatan 2010-2011. Si sulung juga mempersembahkan piala Juara Kedua Lomba Gerak dan Lagu Geordase TK se-Kecamatan Penyileukan 2011. Di atas meja belajar Dafi dalam kamar, senantiasa berdetak jam dinding warna biru dari KPP Madya Palembang.
Semuanya masih ada pada tempatnya, seperti saat Abang masih bersama kami. Tak ada yang berubah… kau selalu di hati kami. Minggu malam itu, sebelum berangkat menjemput takdirnya, Abang menulis surat di buku Dafi dengan tinta ungu.
SURAT untuk:
Dafi jagoan ayah
Dafi, ayah mau berangkat kerja dulu ya.
Abang jagain bunda sama dede yah.
Abang emam nya yang banyak ya..
jangan lupa minum susu dan sikat gigi
kalau mau bobo.
Belajar yang rajin
jangan lupa belajar solat.
da dah Abang…
peluk sayang
dari ayah
(Ayah Najib)
ttd
Tak akan ada yang berubah dari rumah ini. Kecuali anak -anak yang bertambah besar. Anak-anak tetap ceria. Bermain bersama teman mereka di depan televisi di ruang tengah. Saya tak mau menangis di depan mereka, tiap kali mengingat Abang. Kalau kepergok Dafi, dia mengingatkan, “Bunda nangis ingat Ayah yah? Kata Bu Guru, kalau teringat ayah kita mesti berdoa, Bunda. Ayah sudah di surga, Bunda. Berarti Ayah sudah berkumpul dengan Nabi Muhammad. Kan masih ada Abang (panggilan Dafi), Kaka (panggilan Kayyisah setelah punya adik) dan Dede. Kita berjuang bersama-sama, ya Bun. ” Saya takjub mendengarnya. Anak seusia Dafi sudah bisa bertutur seperti itu.
Satu lagu sering dinyanyikan Almarhum untuk saya. Dan sekarang saya persembahkan untuk beliau: “Takkan Terganti”. Reff: “Meski waktu datang dan berlalu hingga kau tiada bertahan semua tak kan mampu merubahku hanyalah kau yang ada direlungku hanyalah dirimu mampu membuatku jatuh dan mencinta kau bukan hanya sekedar indah kau tak akan terganti…”
Delapan bulan sudah berlalu tanpa kehadirannya,Yah memang tak ada yang banyak berubah dari rumah ini begitupun dengan hati kami, Kami ingin sekadar menganggap Abang sedang berangkat kerja. Hanya, Ayah masih belum kunjung pulang. Selamat jalan Ayah akan kubesarkan dan kudidik anak kita seperti yang kau inginkan,semoga Allah selalu melindungi kami dan Semoga kita dapat berkumpul di surga kelak. Kau akan selalu ada bersama kami Peluk sayang kami yang menyayangimu,
Bandung, Oktober 2011
Pak Najib di Mata Mereka
Kolega, kawan karib, dan teman seangkatan memberi testimoni soal seorang Ismail Najib. Tim Buku Berkah mewawancarai mereka. Agus H Purnomo, moderator milis dan Sekretaris Paguyuban Sembilan Lima Satu Hati (Slash)
“Kami, teman seangkatan penerimaan dari Sarjana tahun 1995, tentu kehilangan salah satu orang terbaik. Ia punya jiwa kepedulian yang cukup tinggi. Tulisan posting beliau di milis bermanfaat, berisi nasihat. Bahkan posting terakhirnya.
Paguyuban ini terbentuk dengan misi sosial sebagai solidaritas terhadap kawan yang mendahului kami. Mereka punya keluarga. Dan anak-anak mereka adalah putra-putri kita juga. Kami berkomitmen memberi santunan beasiswa tiap bulan kepada anak teman yang wafat, sejak usia SD hingga SMA kelak. Lebaran kemarin, kami juga berbagi rasa dengan anak-anak tersebut. Dana kami kumpulkan dari iuran bulanan. Sejak Juni 2008, kami melembagakan paguyuban ini jadi Yayasan.
Tapi, kami tetap netral. Ini bukan wadah gerbong-gerbongan angkatan tertentu. Awalnya, kami berjumlah 641. Perkembangannya, ada teman yang resign dari DJP atau Kementerian Keuangan. Anggota kami tinggal 594. Walau bagaimanapun, kami tetap satu ikatan keluarga besar. Sebelum Najib, tiga teman sudah dipanggil –berarti kini kami kehilangan empat sahabat. Namun kami baru menyantuni enam anak dari tiga teman. Kami masih menelusuri keberadaan keluarga alm. Muji Haryadi. Muji resign dari DJP, sempat mengajar di UIN. Kabar terakhir dia ambil S3 di IPB, meninggal pada 2009. Anak-anak beliau juga berhak mendapat santunan seperti lainnya.”
Ahmad Rivai, teman satu kelas kawan sekamar
“Kami bareng di Diklat Pajak Terpadu. Belajar juga bareng. Najib sering menjadi imam salat – orangnya khusyuk. Dia awalnya di KPP Tanjung Priok dan saya di Jatinegara. Kami satu kantor di Kelapa Gading ketika menjadi Kasubsi (Eselon V). Saya di Orang Pribadi sedangkan Najib di Pengolahan Data dan Informasi. Waktu itu masih dikenal bagian “basah” dan “kering”. Data termasuk yang “kering”. Tapi Najib tak pernah mempermainkan kewenangan demi keuntungan pribadi. Setiap kami butuh data, dia selalu respon dengan cepat dan penuh tanggung jawab. “Data ini harus dimanfaatkan untuk penerimaan negara,” kata dia. Orangnya bersih, lurus, jujur, smart, bersemangat. Terus terang, saya iri atas semua kebaikannya.
Promosi menjadi Kasi (Eselon IV), kami berpisah. Najib di Makassar, saya di Purwakarta. Di sana, Najib tinggal selama lima bulan di rumah mertua saya. Setelah empat tahun, dia pindah Pekalongan. Lalu, kami bertemu kembali di Palembang. Orang yang pertama kali dihubungi adalah saya. Dia di KPP Madya, saya di Kanwil Sumatra Selatan. Kami satu kamar di rumah dinas KPP Palembang Ilir Timur. Dia selalu membangunkan saya salat tahajud maupun subuh. Mutasi lagi, saya di Madya Bekasi dan dia di BUMN. Baru-baru ini saya bermimpi, dia dimandikan sebelum dikuburkan. Tapi dia bangun dan menyapa saya, “Apa kabar?” Banyak kawan mempersamakan saya itu Najib dan Najib adalah saya. Saya menangis mengenangnya.”
Joko Widodo, Account Representative KPP BUMN
“Saya salah satu bawahan beliau di Seksi Pengawasan dan Konsultasi I. Setiap mendengar azan, Pak Najib langsung berhenti mengerjakan segala hal. Lalu bergegas ke masjid. Mestinya semua pegawai muslim mencontoh itu.”
———————————

PENTING UNTUK DIBACA

Tulisan ini di dapat dari milis divstan08 yang berasal dari salah satu tulisan di dalambuku BERKAH (Berbagi Kisah dan Harapan) DJP ditulis oleh Bunda Nelly ARS istri dari Bapak Ismail Najib. Jadi.. disini saya jelaskan ya, kalau saya bukan istri Bapak Ismail Najib, bukan Bunda Nelly , karna banyaaaak komen yang menshare hal-hal tertentu yang ditujukan untuk Ibu Nelly. Saya hanya menshare di blog ini dengan tujuan menebar kebaikan dan turut serta dalam aksi sadar anti korupsi di lingkungan instansi saya bekerja, Kementerian Keuangan. Saya sendiri adalah salah satu pegawai di Badan Kebijakan Fiskal. Insyaallah ratusan apresiasi teman-teman akan saya sampaikan kepada Bunda Nelly, insyaallah *sedang diusahakan. Terima kasih banyak untuk tanggapan yang luar biasa dengan menshare tulisan ini di ribuan akun media sosial teman-teman. Tulisan ini sudah dibaca puluhan ribu manusia, insyaallah banyak manfaatnya ya..
Ibrohnya? Untuk orang non-Kemenkeu,  janganlah menyamaratakan semua pegawai Kementerian Keuangan seperti GT atau koruptor lainnya. kalau bukan kalian yang percaya, mau siapa lagi?
untuk pegawai kemenkeu? yuuuuks, jaga diri dan keluarga kita dari segala hal yang bukan HAK kita!!


Demi  Agama dan Bangsa Tercinta

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls