Minggu, 25 November 2012

Pak, beli motor yah?


Dapat cerita pendek ini melalui inbox fb (yang nginboxin temen), tapi sayangnya kok gak ada judulnya... trus saya tak mau repot cari-cari ke sumber cerpen ini... hehe... yah judulnya: Pak, beli motor yah? (ini aja dueh)
Suatu hari, seorang ayah sedang duduk di teras depan. Lalu anaknya yang sudah menginjak usia dewasa datang menghampiri, “Pak, beli motor yah?”, pintanya.
Ayah tak menjawab, hanya diam dan mengusap kepalaku. Tak ada jawaban, ia pun pergi meninggalkan ayahnya.
Tiga hari kemudian, dia kembali lagi.
“Ayah, sekarang ade banyak sekali kerjaan yah. Coba deh ayah bayangin, bolak – balik kampus, udah gitu harus ngajar disekolah yang jauh, naek angkot sekitar 45 menit”, tuturnya.
“trus?”, balas Ayahanda tercinta.
“hemm, jadi kadang kakiku pegel yah, trus kalo di angkot suka ketiduran, eh malah sakit leher. Kayaknya kalo punya kendaraan sendiri, gak kan pegel-pegel deh yah?”, jelasnya.
Seperti biasa, ayah tak menjawab. Pelan, dengan penuh sayang ia belai anak tercintanya itu. Merasa tidak puas, ia pun pergi meninggalkan ayahanda tercinta.
Satu minggu kemudian, ia pun kembali menghampiri ayah yang sedang asyik baca koran.
“Yah, kemarin ada temen yang nawarin motor. Murah loh yah, masih bagus pula..”, katanya.
“wah, berapa harganya?”, jawab ayah.
“ tujuh juta yah, murah kan?”, balasnya.
“Ohh…”, lalu ayah terdiam tanpa ada satu kata pun keluar.
Singkat cerita, malam harinya, si anak terbangun dari tidurnya, padahal masih pukul 02.30 dini hari. Karena nanggung tidur lagi, akhirnya ia putuskan tuk menunggu adzan subuh dengan shalat malam.
Lepas mengambil air wudhu, ia mendengar suara bisik orang mengobrol. Ia pun mencoba mendekatinya, dan ternyata bersumber dari kamar kedua orang tuanya.
Ia pun merapatkan telinganya ke daun pintu, berusaha menyimak obrolan didalam.
“Bu, tabungan masih ada?”, tanya ayah.
“masih, kenapa yah?”, jawab ibu tenang.
“ada berapa bu?”, tanya ayah kembali.
“lumayan, ada tiga juta. Tapi, ibu anggarkan untuk bayar uang kosan sama bayar kuliah ade. Emang kenapa yah?”
“ohh, enggak. Kalo ditambah tabungan ayah jadi enam juta, masih kurang satu juta lagi. Gimana yah bu?”,tutur ayah pelan.
“emang buat apa yah?”, tanya ibu, heran.
“gini bu, ade butuh motor, harganya tujuh juta”, jawab ayah.
“Ohh, buat itu. Ya udah, sisanya kita pinjem ke bank aja yah, gimana?”, saran ibu.
“Bisa sih, tapi uang ibu itu, gimana? Buat bayar ini dan itu..”, kata ayah.
“gampang aja, ibu bisa pinjem dulu ke temen di kantor. Yang penting ade punya motor, mungkin dia butuh yah”, tutur ibu.
“iya bu, ayah gak tega kalo setiap hari ade harus jalan, kakinya pegel, atau naek angkot sampe lehernya sakit, bolak balik kampus. Gimana kalo ade sakit karena kecapean bu, ayah khawatir”, jelas ayah.
“ya udah, ambil aja tabungan ibu yah. Sisanya kita cari besok, moga aja dapet. Ntar kita beli motor yang bagus buat ade, biar gak pegel-pegel lagi”, kata ibu.
Si anak yang mendengar obrolan malam itu, hanya diam terpaku dibelakang pintu. Ia jatuh lunglai, lemas mendengar obrolan ayah dan ibunya.
Namun segera ia bangkit dan jalan perlahan menuju kamar.
Delapan rakaat tahajjud, ditutup witir ia tunaikan. Setangkai do’a ia lantunkan, bisik lirih hatinya disertai deraian air mata,
“Ya rabb,, betapa naif dan egois diri hamba. Mudah mulut hamba ber-ucap, minta ini dan itu. Tanpa hamba tau, betapa sulit ayah dan ibu tuk mengabulkannya. Ya rabb,, ampuni hamba, atas kelalaian ini. Ampuni dan lindungi pula kedua orang tuaku, yang selalu tersenyum didepanku, selalu memberikan motivasi padaku, selalu mengerti aku… walaupun, sedikit aku mengerti mereka. Ya rabb, dewasakanlah aku, agar menjadi anak yang baik dan hamba yang baik, amin”
Seperti panas gersang tersiram hujan, ketenang mengalir dalam darahnya.
Esok paginya, dia menghampiri ayah yang sedang duduk diteras.
“Ayah, ade baca artikel tentang kesehatan. Ternyata, jalan kaki itu sehat yah, apalagi kalo rutin. Pantes yah, ade jadi jarang sakit. Trus, ade tau supaya gak sakit leher di angkot, ade harus duduk di kursi depan, jadi posisi tubuh ade luruh. Jadi, gak punya kendaraan sendiri juga, oke aja tuh. Toh, entar kalo punya ribet ngerawatnya yah… “
Ayah hanya tersenyum, dan membelai penuh sayang anaknya tercinta. Sesekali ia menyeka air mata yang menyembul dari katanya.
----------------------<<<<>>>>--------------------------
Kadang kita suka meminta sesuatu pada seseorang, trutama ayah dan bunda kita, tapi kita tak pernah sekalipun memikirkan bagaimana perjuangan mereka untuk membahagiakan kita...
Saat ayah dan bunda tak mengabulkan keinginan kita, bukan berarti mereka pelit, tapi, ada banyak hal yang menyebabkan itu terjadi...
Trima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat...

Selasa, 20 November 2012

PAPA, MAMA, RIO TUNGGU DI PINTU SURGA


Kisah Nyata :

Bismillahir-Rahmaanir-Rahim … 
Agnes adalah sosok wanita Katolik taat. Setiap malam, ia beserta keluarganya rutin berdoa bersama. Bahkan, saking taatnya, saat Agnes dilamar Martono, kekasihnya yang beragama Islam, dengan tegas ia mengatakan, “Saya lebih mencintai Yesus Kristus dari pada manusia!”

Ketegasan prinsip Katolik yang dipegang wanita itu menggoyahkan Iman Martono yang muslim, namun jarang melakukan ibadah sebagaimana layaknya orang beragama Islam. Martono pun masuk Katolik, sekedar untuk bisa menikahi Agnes. Tepat tanggal 17 Oktober 1982, mereka melaksanakan pernikahan di Gereja Ignatius, Magelang, Jawa Tengah.

Usai menikah, lalu menyelesaikan kuliahnya di Jogjakarta, Agnes beserta sang suami berangkat ke Bandung, kemudian menetap di salah satu kompleks perumahan di wilayah Timur kota kembang. Kebahagiaan terasa lengkap menghiasi kehidupan keluarga ini dengan kehadiran tiga makhluk kecil buah hati mereka, yakni: Adi, Icha dan Rio.

Di lingkungan barunya, Agnes terlibat aktif sebagai jemaat Gereja Suryalaya, Buah Batu, Bandung. Demikan pula Martono, sang suami. Selain juga aktif di Gereja, Martono saat itu menduduki jabatan penting, sebagai kepala Divisi Properti PT Telkom Cisanggarung, Bandung.

Karena Ketaatan mereka memegang iman Katolik, pasangan ini bersama beberapa sahabat se-iman, sengaja mengumpulkan dana dari tetangga sekitar yang beragama Katolik. Mereka pun berhasil membeli sebuah rumah yang ‘disulap’ menjadi tempat ibadah (Gereja,red).

Uniknya, meski sudah menjadi pemeluk ajaran Katolik, Martono tak melupakan kedua orangtuanya yang beragama Islam. Sebagai manifestasi bakti dan cinta pasangan ini, mereka memberangkatkan ayahanda dan ibundanya Martono ke Mekkah, untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.

Hidup harmonis dan berkecukupan mewarnai sekian waktu hari-hari keluarga ini. Sampai satu ketika, kegelisahan menggoncang keduanya. Syahdan, saat itu, Rio, si bungsu yang sangat mereka sayangi jatuh sakit. Panas suhu badan yang tak kunjung reda, membuat mereka segera melarikan Rio ke salah satu rumah sakit Kristen terkenal di wilayah utara Bandung.

Di rumah sakit, usai dilakukan diagnosa, dokter yang menangani saat itu mengatakan bahwa Rio mengalami kelelahan. Akan tetapi Agnes masih saja gelisah dan takut dengan kondisi anak kesayangannya yang tak kunjung membaik.

Saat dipindahkan ke ruangan ICU, Rio, yang masih terkulai lemah, meminta Martono, sang ayah, untuk memanggil ibundanya yang tengah berada di luar ruangan. Martono pun keluar ruangan untuk memberitahu Agnes ihwal permintaan putra bungsunya itu.

Namun, Agnes tak mau masuk ke dalam. Ia hanya mengatakan pada Martono, ”Saya sudah tahu.” Itu saja.

Martono heran. Ia pun kembali masuk ke ruangan dengan rasa penasaran yang masih menggelayut dalam benak.

Di dalam, Rio berucap, “Tapi udahlah, Papah aja, tidak apa-apa.”

“Papah, hidup ini hanya 1 centi. Di sana nggak ada batasnya,” lanjutnya.

Sontak, rasa takjub menyergap Martono. Ucapan bocah mungil buah hatinya yang tengah terbaring lemah itu sungguh mengejutkan. Nasehat kebaikan keluar dari mulutnya seperti orang dewasa yang mengerti agama.

Hingga sore menjelang, Rio kembali berujar, “Pah, Rio mau pulang!”

“Ya, kalau sudah sembuh nanti, kamu boleh pulang sama Papa dan Mama,” jawab Martono.

“Ngga, saya mau pulang sekarang. Papah, Mamah, Rio tunggu di pintu surga!” begitu, ucap Rio, setengah memaksa.

Belum hilang keterkejutan Martono, tiba-tiba ia mendengar ‘bisikan’ yang meminta dia untuk membimbing membacakan syahadat kepada anaknya. Ia kaget dan bingung. Tapi perlahan Rio dituntun sang ayah, Martono, membaca syahadat, hingga kedua mata anak bungsunya itu berlinang. Martono hafal syahadat, karena sebelumnya adalah seorang Muslim.

Tak lama setelah itu ‘bisikan’ kedua terdengar, bahwa setelah adzan Maghrib Rio akan dipanggil sang Pencipta. Meski tambah terkejut, mendengar bisikan itu, Martono pasrah. Benar saja, 27 Juli 1999, persis saat sayup-sayup adzan Maghrib, berkumandang Rio menghembuskan nafas terakhirnya.

Tiba jenazah Rio di rumah duka, peristiwa aneh lagi-lagi terjadi. Agnes yang masih sedih waktu itu seakan melihat Rio menghampirinya dan berkata, “Mah saya tidak mau pakai baju jas mau minta dibalut kain putih aja.”

Saran dari seorang pelayat Muslim, bahwa itu adalah pertanda Rio ingin dishalatkan sebagaimana seorang Muslim yang baru meninggal.

Setelah melalui diskusi dan perdebatan diantara keluarga, jenazah Rio kemudian dibalut pakaian, celana dan sepatu yang serba putih kemudian dishalatkan. Namun, karena banyak pendapat dari keluarga yang tetap harus dimakamkan secara Katolik, jenazah Rio pun akhirnya dimakamkan di Kerkov. Sebuah tempat pemakaman khusus Katolik, di Cimahi, Bandung.

Sepeninggal Rio …

Sepeninggal anaknya, Agnes sering berdiam diri. Satu hari, ia mendengar bisikan ghaib tentang rumah dan mobil. Bisikan itu berucap, “Rumah adalah rumah Tuhan dan mobil adalah kendaraan menuju Tuhan.”

Pada saat itu juga Agnes langsung teringat ucapan mendiang Rio semasa TK dulu, ”Mah, Mbok Atik nanti mau saya belikan rumah dan mobil!” Mbok Atik adalah seorang muslimah yang bertugas merawat Rio di rumah.

Saat itu Agnes menimpali celoteh si bungsu sambil tersenyum, “Kok Mamah ga dikasih?”

“Mamah kan nanti punya sendiri” jawab Rio, singkat.

Entah mengapa, setelah mendengar bisikan itu, Agnes meminta suaminya untuk mengecek ongkos haji waktu itu. Setelah dicek, dana yang dibutuhkan Rp. 17.850.000. Dan yang lebih mengherankan, ketika uang duka dibuka, ternyata jumlah totalnya persis senilai Rp 17.850.000, tidak lebih atau kurang sesenpun. Hal ini diartikan Agnes sebagai amanat dari Rio untuk menghajikan Mbok Atik, wanita yang sehari-hari merawat Rio di rumah.

Singkat cerita, di tanah suci, Mekkah, Mbok Atik menghubungi Agnes via telepon. Sambil menangis ia menceritakan bahwa di Mekkah ia bertemu Rio. Si bungsu yang baru saja meninggalkan alam dunia itu berpesan, “Kepergian Rio tak usah terlalu dipikirkan. Rio sangat bahagia disini. Kalo Mama kangen, berdoa saja.”

Namun, pesan itu tak lantas membuat Agnes tenang. Bahkan Agnes mengalami depresi cukup berat, hingga harus mendapatkan bimbingan dari seorang Psikolog selama 6 bulan.

Satu malam saat tertidur, Agnes dibangunkan oleh suara pria yang berkata, “Buka Alquran surat Yunus!”. Namun, setelah mencari tahu tentang surat Yunus, tak ada seorang pun temannya yang beragama Islam mengerti kandungan makna di dalamnya. Bahkan setelah mendapatkan Al Quran dari sepupunya, dan membacanya berulang-ulang pun, Agnes tetap tak mendapat jawaban.

“Mau Tuhan apa sih?!” protesnya setengah berteriak, sembari menangis tersungkur ke lantai. Dinginnya lantai membuat hatinya berangsur tenang, dan spontan berucap, “Astaghfirullah…”

Tak lama kemudian, akhirnya Agnes menemukan jawabannya sendiri di surat Yunus ayat 49: “Katakan tiap-tiap umat mempunyai ajal. Jika datang ajal, maka mereka tidak dapat mengundurkannya dan tidak (pula) mendahulukannya”.

Beberapa kejadian aneh yang dialami sepeninggal Rio, membuat Agnes berusaha mempelajari Islam lewat beberapa buku. Hingga akhirnya wanita penganut Katolik taat ini berkata, “Ya Allah, terimalah saya sebagai orang Islam, saya tidak mau di-Islamkan oleh orang lain!”.

Setelah memeluk Islam, Agnes secara sembunyi-sembunyi melakukan shalat. Sementara itu, Martono, suaminya, masih rajin pergi ke gereja. Setiap kali diajak ke gereja Agnes selalu menolak dengan berbagai alasan.

Sampai suatu malam, Martono terbangun karena mendengar isak tangis seorang perempuan. Ketika berusaha mencari sumber suara, betapa kagetnya Martono saat melihat istri tercintanya, Agnes, tengah bersujud dengan menggunakan jaket, celana panjang dan syal yang menutupi aurat tubuhnya.

“Lho kok Mamah shalat,” tanya Martono.

“Maafkan saya, Pah. Saya duluan, Papah saya tinggalkan,” jawab Agnes lirih.

Ia pasrah akan segala resiko yang harus ditanggung, bahkan perceraian sekalipun.

Martono pun Akhirnya Kembali ke Islam …

Sejak keputusan sang istri memeluk Islam, Martono seperti berada di persimpangan. Satu hari, 17 Agustus 2000, Agnes mengantar Adi, putra pertamanya untuk mengikuti lomba adzan yang diadakan panitia Agustus-an di lingkungan tempat mereka tinggal.

Adi sendiri tiba-tiba tertarik untuk mengikuti lomba adzan beberapa hari sebelumnya, meski ia masih Katolik dan berstatus sebagai pelajar di SMA Santa Maria, Bandung. Martono sebetulnya juga diajak ke arena perlombaan, namun menolak dengan alasan harus mengikuti upacara di kantor.

Di tempat lomba yang diikuti 33 peserta itu, Gangsa Raharjo, Psikolog Agnes, berpesan kepada Adi, “Niatkan suara adzan bukan hanya untuk orang yang ada di sekitarmu, tetapi niatkan untuk semesta alam!” ujarnya.

Hasilnya, suara Adzan Adi yang lepas nan merdu, mengalun syahdu, mengundang keheningan dan kekhusyukan siapapun yang mendengar. Hingga bulir-bulir air mata pun mengalir tak terbendung, basahi pipi sang Ibunda tercinta yang larut dalam haru dan bahagia. Tak pelak, panitia pun menobatkan Adi sebagai juara pertama, menyisihkan 33 peserta lainnya.

Usai lomba Agnes dan Adi bersegera pulang. Tiba di rumah, kejutan lain tengah menanti mereka. Saat baru saja membuka pintu kamar, Agnes terkejut melihat Martono, sang suami, tengah melaksanakan shalat. Ia pun spontan terkulai lemah di hadapan suaminya itu. Selesai shalat, Martono langsung meraih sang istri dan mendekapnya erat.

Sambil berderai air mata, ia berucap lirih, “Mah, sekarang Papah sudah masuk Islam.”

Mengetahui hal itu, Adi dan Icha, putra-putri mereka pun mengikuti jejak ayah dan ibunya, memeluk Islam.

Perjalanan panjang yang sungguh mengharu biru. Keluarga ini pun akhirnya memulai babak baru sebagai penganut Muslim yang taat. Hingga kini, esok, dan sampai akhir zaman. Insya Allah.

Wallahua’lam bish Shawwab ….
Barakallahufikum ….

… Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci …

~ o ~

Salam santun dan keep istiqomah …

— Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini … Itu hanyalah dari kami … dan kepada Allah SWT., kami mohon ampunan … —-

Semoga bermanfaat dan Dapat Diambil Hikmah-Nya …
Silahkan DICOPAS atau DI SHARE jika menurut sahabat note ini bermanfaat …
Sumber:
http://www.facebook.com/groups/majlughasaintek/permalink/479234398782758/

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls